16 Januari 2009

Kaidah Utama untuk Muslim dan Muslimah (2)

Kaidah Kelima

Mengikuti ulama atau umara dalam menghalalkan yang Allah haramkan atau mengharamkan yang Allah halalkan termasuk sikap menjadikan mereka sebagai sesembahan

Ini merupakan kandungan sebuah bab di dalam Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Di dalamnya beliau memaparkan kepada kita bahwasanya ketaatan termasuk salah satu bentuk ibadah.


Dari ‘Adi bin Hatim dikisahkan bahwa tatkala dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat, “Mereka (ahlul kitab) menjadikan para ulama (pendeta) dan rahib-rahib (ahli ibadah) mereka sebagai tuhan sesembahan selain Allah.” (QS. At Taubah [9]: 31) Maka Adi bin Hatim pun berkomentar kepada Nabi, “Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka.”

Maka Nabi mengatakan, “Bukankah mereka sudah mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah kemudian kalian pun ikut mengharamkannya? Dan bukankah mereka juga menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah kemudian kalian pun ikut menghalalkannya?” Adi bin Hatim menjawab, “Memang demikian” Maka Nabi pun bersabda, “Itulah wujud peribadahan kepada mereka.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, Tirmidzi menghasankannya. Dinilai hasan juga oleh Syaikhul Islam di dalam Al Iman, begitu pula dinilai hasan oleh Al Albani, lihat Al Qaul Al Mufid, II/66, cet. Maktabah Al ‘Ilmu)

Faidah Hadits

Pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

Pertama, Mentaati para ulama dan makhluk selain mereka dalam merubah hukum-hukum Allah apabila orang yang menaati ini mengetahui penyimpangannya dari syari’at Allah maka hukumnya syirik akbar.

Kedua, Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah ta’ala.

Ketiga, Penjelasan tentang salah satu jenis kesyirikan yaitu syirik dalam ketaatan.

Keempat, Disyari’atkannya mengajari orang yang masih belum tahu (jahil)

Kelima, Makna ibadah itu luas. Ia mencakup segala hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin (lihat Al Mulakhkhash fii Syarhi Kitabit Tauhid karya Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, hal. 246)

Macam-Macam Orang yang Menaati dan Hukumnya

Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa keadaan orang yang menaati ulama dalam mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram terbagi menjadi tiga keadaan:

Pertama:

Mengikuti mereka dengan perasaan ridha terhadap pendapat mereka, lebih mendahulukannya serta membenci hukum Allah. Maka orang semacam ini hukumnya kafir. Karena dia membenci wahyu yang diturunkan Allah sehingga menyebabkan Allah menghapuskan amal-amalnya. Dan amal tidaklah menjadi terhapus kecuali dengan sebab kekufuran. Oleh karena itu setiap orang yang membenci ajaran/hukum yang diturunkan Allah maka dia adalah kafir.

Kedua:

Mengikuti mereka dalam hal itu dengan masih menyimpan keridhaan terhadap hukum Allah dan menyadari bahwasanya hukum Allah lebih utama dan lebih baik untuk kemaslahatan orang dan negara. Akan tetapi karena dorongan hawa nafsunya maka dia pun memilih pendapat tersebut, seperti misalnya karena menginginkan pekerjaan. Maka yang seperti ini tidak dikafirkan. Akan tetapi dia adalah fasik (pelaku dosa besar) dan berlaku baginya hukuman terhadap para pelaku maksiat.

Ketiga:

Mengikuti mereka karena kebodohannya. Sehingga dia menyangka bahwa itulah hukum Allah. Orang seperti ini terbagi dalam dua golongan. Yang pertama, apabila dia termasuk orang yang memungkinkan bagi dirinya untuk mengetahui sendiri kebenaran, maka orang seperti ini termasuk orang yang melalaikan kewajiban dan berdosa. Karena Allah telah memerintahkan supaya bertanya kepada ahli ilmu ketika tidak mengetahui. Yang kedua, apabila orang ini adalah orang yang tidak bisa mengetahuinya dan tidak memungkinkan untuk menelaah ilmu sehingga terpaksa mengikuti mereka karena taklid dengan persangkaan kuat bahwa pendapat itu adalah yang haq, maka yang semacam ini tidak mengapa. Karena dia sudah menunaikan perintah yang ditujukan kepadanya. Dengan sebab itu dia juga diberi udzur (toleransi atas kesalahannya).

Oleh sebab itulah terdapat sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang diberi fatwa tanpa ilmu maka dosanya ditanggung oleh orang yang memberikan fatwa.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan dinilai hasan Al Albani di dalam Shahihul Jaami’, 6068-6069, lihat Al Qaul Al Mufid, II/68, silakan baca juga Ibthaalut Tandiid bi ikhtishaari Syarhi Kitaabit Tauhid, hal. 209-210)

Perhatian !!!

Syaikhul Islam mengatakan tentang keadaan orang yang mengikuti ulama atau pemimpin dalam hal menghalalkan yang haram atau sebaliknya sementara hatinya masih meyakini dan mengimani ketetapan halal haram menurut Allah akan tetapi dia tetap mengikuti mereka dalam kemaksiatan kepada Allah sebagaimana perbuatan maksiat yang dilakukan oleh seorang muslim yang masih meyakini bahwa perbuatannya sebagai maksiat.

Beliau rahimahullah menjelaskan, “…Maka terhadap mereka diberlakukan hukum orang-orang seperti mereka yang berbuat dosa (pelaku maksiat). Kemudian kami katakan bahwa mengikuti orang yang menyatakan halal sesuatu yang haram atau mengikuti orang yang menyatakan haram sesuatu yang halal (sebagai berikut) :

Apabila dia adalah seorang mujtahid yang berniat untuk mengikuti Rasul akan tetapi kebenaran tampak samar baginya di dalam perkara tersebut dan dia sudah berusaha bertakwa kepada Allah sepenuh kemampuannya maka orang ini tidak akan dihukum oleh Allah karena sebab kekeliruannya. Bahkan dia mendapatkan pahala atas ijtihadnya yang dengan kesungguhannya itu dia telah mentaati Tuhannya.

Akan tetapi barang siapa yang mengetahui bahwa pendapat ini adalah salah dan menyimpang dari ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia justru mengikuti kesalahannya maka dia tercakup dalam kesyirikan jenis ini (syirik ketaatan) yang dicela Allah.

Adapun apabila orang yang mengikuti pendapat mujtahid adalah orang yang lemah atau tidak mampu mengetahui al haq secara terperinci dan dia juga sudah berupaya bersungguh-sungguh untuk melakukan pencarian kebenaran sepenuh kemampuan orang seperti dirinya yaitu bersungguh-sungguh dalam mencari orang yang pantas untuk diikutinya (ijtihad dalam hal taklid), maka dia juga tidak akan dihukum apabila bersalah.

Adapun jika dia mengikuti seseorang saja tanpa mempedulikan (ulama) yang lainnya semata-mata karena dorongan hawa nafsunya, dia pun berusaha membelanya dengan tenaga dan ucapannya dan tanpa mengetahui apakah kebenaran berada pada orang yang diikutinya ataukah tidak maka orang ini termasuk kalangan pengikut budaya jahiliyah. Apabila seandainya orang yang diikutinya adalah orang yang benar pendapatnya maka amalnya tidaklah dianggap sebagai amal shalih. Dan seandainya orang yang diikutinya adalah orang yang salah pendapatnya maka dia berdosa seperti halnya orang yang menafsirkan Al Qur’an dengan bekal logikanya semata. Apabila dia benar dia tetap dinyatakan bersalah, dan apabila salah tafsirannya maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka” demikian keterangan beliau secara ringkas.

Waspadalah…

Kemudian perhatikanlah komentar Syaikh Hamad bin ‘Atiiq rahimahullah setelah membawakan perkataan Syaikhul Islam di atas. Beliau mengatakan, “Maka jelaslah bahwasanya kebanyakan orang yang menisbatkan dirinya termasuk kalangan ahli ilmu sementara pada hakikatnya dia tergolong pengikut budaya jahiliyah.

Dan kalaulah seandainya bukan karena sifat jahil (bodoh) niscaya dia tidak akan mau memilih si fulan dan bersikukuh membela pendapat-pendapatnya tanpa mau mempertimbangkan salah dan benarnya, dan dia pun membantah pendapat-pendapat yang lainnya serta tak mau sedikitpun menggubrisnya meskipun kebenaran itu ada pada pendapat mereka” (lihat Ibthaalut Tandiid bi ikhtishaari Syarhi Kitaabit Tauhid, hal. 209-211, faidah ini juga kami dapatkan sebelumnya dari kajian bersama Al Ustadz Abu ‘Isa hafizhahullahu wa jazaahullaahu khairan. Anda bisa mendengarkan kajian tentangnya dalam cd Daurah Kitab Tauhid yang diterbitkan oleh Pustaka Muslim Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari Yogyakarta)

Maka perhatikanlah gerak-gerik hati kita wahai saudara-saudaraku, cermatilah kecondongan dan keinginan-keinginannya dan tanyakanlah kepadanya: Benarkah apa yang saya lakukan ini demi membela kebenaran ataukah karena mengikuti hawa nafsu dan membela kepentingan diri pribadi… Wallaahul musta’aan.

Kaidah Keenam

Tidak Boleh Menentang Hadits Shahih Dengan Pendapat Orang

Saudaraku, di antara akidah yang harus kita yakini sebagai orang muslim ialah, “Semua hadits yang sah berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib untuk diterima dan diamalkan, meskipun hadits tersebut berstatus ahad (sedikit jalan periwayatannya, bukan mutawatir) baik dalam masalah-masalah akidah maupun perkara-perkara lainnya.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah, hal. 7)

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan apa saja yang dibawa Rasul maka ambillah dan apa saja yang dilarang Rasul maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr [59]: 7)

Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Dan tidaklah dia (Muhammad) berbicara dengan hawa nafsunya akan tetapi dia berbicara berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An Najm [53]: 3-4)

Sehingga para imam pun sepakat untuk bermazhab dengan hadits shahih dan rela membuang pendapat mereka yang bertentangan dengan hadits tersebut.

Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin telah sepakat bahwasanya barang siapa yang telah jelas baginya suatu Sunnah (hadits) yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkan hadits itu karena mengikuti pendapat siapapun“. Beliau juga mengatakan, “Apabila suatu hadits terbukti shahih maka itulah mazhabku”. Beliau juga mengatakan, “Semua permasalahan yang di dalamnya terdapat hadits yang dinyatakan shahih menurut ahli naql (ahli hadits) serta menyelisihi pendapatku maka aku rujuk darinya selama aku hidup maupun sesudah aku mati”.

Imam Abu Hanifah mengatakan, “Apabila aku pernah mengatakan suatu pendapat yang menyelisihi Kitabullah ta’ala dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tinggalkanlah pendapatku”.

Imam Malik mengatakan, “Sesungguhnya saya ini adalah manusia, bisa benar dan bisa salah. Maka telitilah pendapatku. Semua pendapatku yang sesuai dengan Al Kitab dan As Sunnah maka ambillah. Sedangkan semua yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan As Sunnah maka tinggalkanlah.”

Imam Ahmad mengatakan, “Barang siapa menentang hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia berada di tepi jurang kebinasaan” (lihat Mukaddimah Shifat Shalat Nabi, karya Al Imam Albani rahimahullah, hal. 46-53)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah mengatakan, “Hampir-hampir saja batu-batu dari atas langit jatuh menimpa kalian ! Aku katakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sedangkan kalian justru (membantahnya dengan) berkata, “Abu Bakar dan ‘Umar berkata” ?!”

Imam Ahmad bin Hanbal menceritakan, “Aku sungguh merasa heran terhadap suatu kaum yang memahami ilmu sanad (ilmu hadits) dan keabsahannya. Mereka justru berpendapat mengikuti pandangan Sufyan (yaitu Sufyan Ats Tsauri, seorang Imam yang agung). Padahal Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyimpang dari perintah Rasul, kalau-kalau mereka akan tertimpa fitnah atau siksa yang pedih.” (QS. An Nuur [24]: 63)

Imam Ahmad berkata, “Tahukah kalian apa itu fitnah? Fitnah itu adalah syirik. Karena bisa jadi apabila dia tengah menolak sebagian sabda beliau maka muncullah kesesatan di dalam hatinya sehingga diapun binasa”.

Syaikh DR. Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql menuliskan salah satu kaidah dan pedoman yang harus dipegang oleh seorang muslim yaitu “(Harus) bersikap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya secara lahir dan batin. Oleh karena itu maka ketetapan yang sudah terdapat di dalam Al Kitab maupun As Sunnah yang Shahih tidak boleh dipertentangkan dengan qiyas, perasaan, penyingkapan (kasyf, istilahnya kaum sufi), tidak juga dengan pendapat seorang Syaikh, Imam dan semacamnya” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 7)

Kaidah Ketujuh

Cara Memahami Al Kitab dan As Sunnah Adalah Mengikuti Salafush Shalih

Syaikh DR. Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql menuliskan salah satu kaidah dan pedoman yang harus dipegang oleh seorang muslim yaitu, “Rujukan dalam memahami Al Kitab dan As Sunnah adalah nash-nash (dalil-dalil) yang menjelaskannya beserta pemahaman salafush shalih (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) dan pemahaman para imam (ulama) yang menempuh metode (manhaj) mereka. Dan apa yang sudah jelas hukumnya dari itu semua maka tidak boleh ditentang dengan semata-mata kemungkinan (celah) makna bahasa” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah, hal. 7)

Allah ta’ala berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya, “Dan Kami turunkan kepadamu Adz Dzikra (al-Qur’an) supaya kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka mau memikirkan.” (QS. An Nahl [16]: 44)

Ini menunjukkan bahwa Nabi berperan sebagai penjelas wahyu al-Qur’an. Allah juga mengaitkan keridhaan-Nya dengan pengikutan terhadap Muhajirin dan Anshar (para sahabat Nabi). Allah berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama berjasa bagi Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah..” (QS. At Taubah [9]: 100)

Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mengikuti para sahabat (salafush shalih) akan mendapatkan keridhaan Allah. Maka jika kita ingin mendapatkan keridhaan Allah kita harus mengikuti para sahabat dalam beragama; mengikuti pemahaman mereka terhadap Al Kitab dan As Sunnah. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang di jamanku (sahabat), kemudian sesudahnya (tabi’in) dan kemudian sesudahnya (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tentu saja semua perkara harus dipulangkan kepada ahlinya. Dalam masalah ushul fikih kita harus merujuk kepada para ulama ushul fikih, dalam masalah tafsir kita merujuk kepada ulama tafsir, dan dalam masalah hadits kita juga harus merujuk kepada ahli hadits, dst. (silakan lihat penjelasan hal ini di dalam Mukaddimah Ilmiyah yang ditulis oleh Al Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullah di dalam Al Masaa’il, jilid. 3 Masalah ke-66, hal. 25-29. Bacalah !!!)

Sehingga dengan begitu kita tidak sembarangan mengambil pendapat ulama. Karena sekali lagi kita harus mempertimbangkan baik-baik pendapat tersebut dengan kemampuan yang Allah berikan kepada kita. Sesedikit apapun ilmu kita Allah masih tetap menyisakan di dalam hati kita kemampuan untuk membandingkan manakah yang lebih baik, lebih kuat dan lebih selamat berdasarkan keterangan yang sampai kepada kita. Dan sekali lagi kami ingatkan, jangan sampai hawa nafsu kita menyebabkan kita memilih atau meninggalkan sesuatu hanya karena itu lebih cocok bagi nafsu kita. Inilah prinsip penting yang harus kita camkan, “Innamal a’maalu bin niyaat” (Sesungguhnya amal itu akan dibalas berdasarkan niatnya).

Kaidah Kedelapan

Innamal A’maalu Bin Niyaat

Dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan. Oleh karena itu barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin didapatkannya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Yang dimaksud amal di dalam hadits ini adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh mukallaf (orang yang sudah terkena beban syariat). Amal tersebut meliputi ucapan lisan, perbuatan anggota badan, ucapan hati dan amalan hati (lihat Syarah Arba’in Syaikh Shalih Alusy Syaikh, hal. 6)

Di dalam hadits ini Nabi mencontohkan amalan hijrah yaitu berpindah dari negeri kafir kepada negeri Islam. Dia meninggalkan negeri yang satu menuju negeri yang lain. Ada yang berniat untuk menaati syari’at dan ada juga yang berniat untuk kepentingan duniawi saja. Maka orang yang berhijrah karena taat kepada syari’at Allah akan memperoleh pahala. Sedangkan orang yang berhijrah hanya karena ingin mencari harta di negeri Islam yang ditujunya atau karena ingin menikahi seorang wanita yang ada di negeri tersebut maka dia tidak memperoleh pahala karena hijrahnya itu, walaupun dia berhasil meraup harta atau menikahi wanita (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, I/12-13)

Bahkan sampai menutup pintu dan mematikan lampu pun apabila didasari niat ingin melaksanakan perintah Rasulullah niscaya pelakunya akan mendapat pahala…!!! (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 29-30)

Salah satu bentuk hijrah adalah hijratul ‘amal. Hijratul ‘amal adalah seseorang meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh Allah, baik berupa kemaksiatan (dosa kecil) maupun kefasikan (dosa besar). Hal ini sebagaimana disinggung dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang muslim yang baik adalah yang bisa menahan tangan dan lisannya dari menyakiti orang muslim yang lain. Dan hakikat orang yang berhijrah ialah orang yang meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah.” (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, I/16)

Dengan demikian dapat kita katakan bahwa apabila seseorang meninggalkan suatu larangan karena menuruti syariat Allah maka dia akan mendapat pahala. Sedangkan apabila dia meninggalkan larangan bukan karena alasan seperti itu, melainkan karena tidak punya selera atau sedang tidak ada kesempatan atau karena ingin menikahi seorang wanita yang disukainya maka dia tidak mendapatkan pahala. Subhanallah !

Maka marilah kita periksa kembali amal-amal kita selama ini…Apa niat dibalik sikap kita tidak mengerjakan suatu larangan Allah, apakah murni karena ingin mengikuti syari’at ataukah ada udang di balik batu ?!

Catatan:

Ada sebagian orang yang beralasan dengan hadits di atas untuk membolehkan berbagai perbuatan yang tidak ada tuntunannya seperti Selamatan Kematian dan lain-lain. Mereka mengatakan, “Yang penting kan niatnya, kalau niatnya baik kan tidak mengapa.”

Maka kita akan sampaikan kepada mereka ucapan orang-orang musyrik di jaman Nabi sebagaimana disebutkan Allah di dalam al-Qur’an yang artinya, “Tidaklah kami menyembah mereka (berhala-berhala itu) melainkan supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya.” (QS. Az Zumar [39]: 3)

Saudaraku, cobalah perhatikan betapa mulianya tujuan mereka itu. Mereka ingin mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya. Namun apakah kita akan membenarkan tindakan mereka semata-mata karena niat baik mereka itu ? Tentu saja tidak. Kenapa ? Karena mereka melakukan sesuatu yang dilarang Allah yaitu syirik.

Maka dalam hal ini pun sama. Orang yang melakukan selamatan kematian atau perbuatan bid’ah lainnya juga tidak akan dibenarkan perbuatannya. Karena mereka telah melakukan bid’ah yang jelas-jelas dilarang Rasulullah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka dia tertolak.” (HR. Muslim)

Bukankah Nabi juga yang bersabda innamal a’maalu bin niyaat. Dan hadits ini pun datang dari sumber yang sama. Apakah akan kita katakan Nabi mengucapkan kalimat yang saling bertentangan? Oleh sebab itulah para ulama menerangkan bahwa syarat diterimanya amal selain harus ikhlas adalah harus sesuai dengan tuntunan syariat/bukan bid’ah.

Wallahu a’lam bish shawab.

Selesai disusun ulang,

Jum’at 9/1/1429

Alhamdulillaahilladzi bini’matihi tatimmush shalihaat

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Kaidah Utama untuk Muslim dan Muslimah (1)

Kaidah Pertama

Kewajiban Tunduk Terhadap Hukum Allah ta’ala dan Rasul-Nya

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’ [4]: 65)


Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin salah seorang imam panutan kaum muslimin di zaman ini mengatakan, “Artinya (mereka tidaklah beriman) hingga mau menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara mereka…”

Beliau jelaskan, “Dan itu artinya sampai mereka mau menjadikan engkau saja (Muhammad) sebagai pemberi keputusan (hakim) dalam menyelesaikan persengketaan yang ada di antara mereka, dalam urusan-urusan agama maupun urusan-urusan dunia. Dalam urusan agama, misalnya: apabila ada dua orang yang berselisih dalam menentukan hukum suatu permasalahan syari’at. Seorang di antara mereka berdua berkata, “Itu adalah haram”. Sedangkan orang kedua berkata, “Itu halal”. Maka untuk mencari keputusan hukumnya adalah kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidaklah seorangpun di antara mereka berdua (yang berselisih tadi) dinyatakan beriman sampai mau berhakim kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Beliau melanjutkan, “Demikian pula seandainya orang-orang berselisih dalam urusan dunia di antara mereka. Sebagaimana kejadian yang dialami oleh Zubair bin ‘Awwaam radhiyallahu ‘anhu bersama tetangganya dari kaum Anshar ketika mereka berdua mencari keputusan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam permasalahan suatu sumur air di lembah maka beliau pun menjadi hakim bagi mereka berdua. Inilah (contoh) berhakim dalam urusan agama maupun dunia. Yang terpenting ialah seseorang tidaklah dinyatakan beriman (dengan benar) hingga pencarian keputusannya dalam urusan agama maupun dunia adalah kepada (keputusan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Syarh Riyadhush Shalihin, I/587)

Kalau ada yang bertanya, “Bagaimanakah berhakim kepada Rasul sesudah beliau wafat?” Syaikh Al ‘Utsaimin mengatakan, “Maka jawabannya ialah, kita katakan: berhakim kepada beliau sesudah wafatnya ialah dengan cara berhakim kepada Sunnahnya shallallahu ‘alaihi wa sallam…”(Syarh Riyadhush Shalihin, I/587)

Beliau juga menjelaskan bahwa berdasarkan ayat di atas ada 3 syarat yang harus dipenuhi di dalam diri seseorang agar benar keimanannya, yaitu:
Berhakim kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dia tidak boleh merasa sempit di dalam hatinya terhadap keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dia harus tunduk menerima sepenuhnya dan pasrah secara total terhadapnya

Beliau mengatakan, “Maka dengan ketiga syarat inilah dia bisa menjadi mu’min. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka bisa jadi dia keluar dari keimanan secara keseluruhan atau bisa juga menjadi menyusut keimanannya, wallaahul muwaffiq.” (Syarh Riyadhush Shalihin, I/589)

Kaidah Kedua

Sunnah Nabi Adalah Satu-Satunya Jalan Keselamatan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada pemimpin). Meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak Eithiopia. Dan barang siapa yang masih hidup di antara kalian pasti akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran) ku dan Sunnah para Khalifah yang lurus (khulafa’ur rasyidiin) lagi berpetunjuk. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) karena sesungguhnya bid’ah (perkara-perkara yang diada-adakan dalam agama) adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata: Hadits hasan shahih)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita tatkala melihat perselisihan ini (yaitu banyaknya perselisihan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits) supaya berpegang teguh dengan Sunnah beliau. Arti dari ungkapan ‘alaikum bi sunnatii ialah berpegang teguhlah dengannya (dengan Sunnah Nabi)…”

Beliau rahimahullah juga berkata, “Sedangkan makna kata Sunnah beliau ‘alaihish shalaatu was salaam adalah: jalan yang beliau tempuh, yang mencakup akidah, akhlak, amal, ibadah dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran) beliau. Dan kita pun berhakim kepadanya. Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’ [4]: 65)”

Kemudian beliau berkata, “Dengan demikian Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya jalan keselamatan bagi orang yang dikehendaki Allah untuk selamat dari berbagai perselisihan dan berbagai macam kebid’ahan. Dan segala puji bagi Allah, ternyata Sunnah itu sudah tercantum di dalam kitab-kitab para ulama yang menulis karya tentang As Sunnah, seperti Shahihain (Dua Kitab Shahih) yaitu karya Al Bukhari dan Muslim, dan kitab-kitab Sunan serta Musnad-Musnad dan karya lainnya yang sudah ditulis oleh para ulama. Dan melalui karya-karya itulah mereka menjaga Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Syarh Riyadhush Shalihin, I/603)

Kaidah Ketiga

Syi’ar kaum beriman adalah ’sami’naa wa atha’naa’ (Kami dengar dan Kami Taat)

Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman apabila diajak untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul itu memberikan keputusan hukum di antara mereka hanyalah dengan mengatakan, “Kami mendengar dan kami taat”. Dan hanya merekalah orang-orang yang berbahagia.” (QS. An Nuur [24]: 51)

Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa sesungguhnya sifat orang yang benar-benar beriman (yaitu yang imannya dibuktikan dengan amalan) apabila diajak untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya supaya Rasul memberikan keputusan di antara mereka niscaya mereka akan mengatakan, “Kami dengar dan kami taati”, sama saja apakah keputusan tersebut dirasa cocok ataupun tidak oleh hawa nafsu mereka. Artinya mereka mendengarkan keputusan hukum Allah dan Rasul-Nya serta memenuhi panggilan orang yang mengajak mereka untuk itu. Mereka taat dengan sepenuhnya tanpa menyisakan sedikitpun rasa keberatan.

Hakikat kebahagiaan adalah bisa meraih perkara yang diinginkan dan selamat dari bahaya yang ditakutkan. Dan Allah pun membatasi kebahagiaan hanya ada pada orang-orang seperti mereka. Sebab orang tidak akan pernah berbahagia tanpa berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya (lihat Taisir Karim Ar Rahman, hal. 572)

Kaidah Keempat

Syi’ar Kaum Celaka Adalah ‘Sami’naa Wa ‘Ashainaa’ (Kami dengar dan kami durhakai)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Ketika turun ayat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Milik Allah lah segala sesuatu yang ada di langit dan segala yang ada di bumi. Dan apabila kalian menampakkan apa yang ada di dalam jiwa kalian ataupun menyembunyikannya niscaya Allah akan menghisabnya.” (QS. Al Baqarah [2]: 283)

Maka hal itu terasa sulit bagi para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian mereka pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersimpuh di atas lutut-lutut mereka. Mereka mengatakan, “Duhai Rasulullah, kami telah diberi beban amal yang sanggup kami kerjakan: shalat, jihad, puasa, shadaqah. Dan kemudian ayat ini turun kepadamu sedangkan kami tidak mampu melaksanakannya.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Apakah kalian mau mengatakan sebagaimana yang diucapkan oleh kaum pengikut dua Kitab (Taurat dan Injil) sebelum kalian, “Sami’naa wa ‘ashainaa’? (Janganlah seperti itu) Akan tetapi ucapkanlah, “Kami dengar dan kami taati. Kami mohon ampunan-Mu wahai Rabb kami. Dan kepada-Mu lah tempat kembali.” Maka mereka pun mengucapkan, “Kami dengar dan kami taati. Kami mohon ampunan-Mu wahai Rabb kami. Dan kepada-Mu lah tempat kembali”…” (HR. Muslim)

Di dalam hadits di atas Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan sikap para sahabat tatkala turun ayat tersebut. Mereka merasa bahwa isi ayat tersebut sangat berat bagi mereka. Karena di dalamnya Allah menyatakan akan menghisab perkara yang ditampakkan maupun yang disembunyikan di dalam diri. Padahal di dalam hati manusia senantiasa muncul bisikan dan pikiran yang tak bertepian. Syaithan sering sekali menghampiri hatinya dan menimbulkan munculnya berbagai pikiran jelek dan mungkar, baik yang menyangkut masalah agama, atau masalah harta dan lain sebagainya banyak sekali.

Sementara itu Allah berfirman, “Dan apabila kalian menampakkan apa yang ada di dalam jiwa kalian ataupun menyembunyikannya niscaya Allah akan menghisabnya.”

Kalau memang demikian adanya niscaya semua orang pasti celaka. Sehingga para sahabat pun datang mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersimpuh di hadapan beliau. Mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah. Sesungguhnya Allah ta’ala sudah memerintahkan kami untuk beribadah dengan semampu kami, seperti shalat, jihad, puasa, shadaqah. Perintah-perintah ini mampu untuk kami laksanakan. Kami pun shalat, berjihad, bershadaqah dan berpuasa. Namun sekarang (kami merasa berat) dengan turunnya ayat ini, “Dan apabila kalian menampakkan apa yang ada di dalam jiwa kalian ataupun menyembunyikannya niscaya Allah akan menghisabnya.”

Perkara ini terasa berat dan sulit untuk dilaksanakan oleh mereka. Tidak ada seorang pun yang sanggup untuk menghalangi isi hatinya dari munculnya berbagai pikiran jelek yang sekiranya dia dihisab dan dihukum karena itu semua pastilah dia akan binasa.

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Apakah kalian ingin mengatakan sebagaimana perkataan pengikut dua kitab sebelum kalian” yaitu kaum Yahudi pengikut Taurat dan Nasrani pengikut Injil. Mereka mengatakan, “Kami dengar dan kami durhakai.” Apakah kalian ingin seperti mereka, kata beliau. “Akan tetapi hendaknya kalian berkata, “Kami mendengar dan kami taati, Ampunilah kami wahai Rabb kami. Dan kepada-Mu lah tempat kembali”.”

Syaikh Al ‘Utsaimin berkata, “Demikianlah yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim apabila mendengar perintah dari Allah dan Rasul-Nya. Yaitu mengatakan, “Kami mendengar dan kami taati” dan berusaha melaksanakannya sekuat kemampuannya karena Allah tidaklah membebankan kecuali menurut kemampuan dirinya“. Kemudian setelah mereka mau berlapang dada untuk mengucapkan kalimat kepasrahan tersebut serta jiwa-jiwa mereka pun menjadi lunak, begitu pula lisan-lisan mereka patuh dengan penuh ketundukan, maka Allah pun menurunkan ayat sesudah itu untuk memuji mereka atas sikap mereka tersebut.

Baru sesudah itu Allah turunkan ayat, “Allah tidaklah membebankan kepada seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Baginya pahala atas amal yang dia perbuat dan baginya dosa atas kejahatan yang dia perbuat.” (QS. Al Baqarah [2]: 286)

Sehingga apa-apa yang berada di luar kesanggupan dan kuasa manusia tidak akan dibebankan kepadanya. Dan munculnya hal itu tidaklah mengapa, seperti contohnya bisikan/waswas yang menyelusup ke dalam hati kemudian orang tersebut berusaha untuk menolak dan menyingkirkannya. Karena hal-hal semacam ini tidak mungkin bisa dia hindari.

Syaikh Al ‘Utsaimin berkata, “Oleh sebab itulah Allah ta’ala tidak akan membebankan kepada manusia sesuatu yang tidak sanggup dikerjakannya. Bahkan jika dia tidak sanggup untuk melakukan sebuah kewajiban maka bentuknya akan berubah menjadi cara lain yang bisa menggantikannya, apabila hal itu ada penggantinya. Atau bisa jadi kewajiban itu gugur darinya jika memang tidak ada penggantinya…”

Adapun terhadap hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia maka do’a kita adalah, “Wahai Rabb kami janganlah Engkau bebankan kepada kami sesuatu yang tidak sanggup kami pikul” Maka di dalam lanjutan hadits tersebut Allah menyatakan, “Ya (Ku-kabulkan do’amu)” artinya Aku tidak akan memikulkan kepadamu sesuatu yang tidak sanggup kamu laksanakan.

Jadi dari ayat yang mulia ini kita bisa mengambil pelajaran bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan memikulkan kepada kita sesuatu yang tidak sanggup kita tanggung. Dan Dia tidak akan membebankan melainkan yang sesuai dengan kemampuan kita. Adanya waswas yang muncul dalam hati kita tidak akan membahayakan selama kita tidak merasa senang dan tenang dengannya, apalagi untuk kita turuti kemauannya (silakan lihat Syarh Riyadhush Shalihin, I/630-634)

Saudaraku, lihatlah para sahabat…

Mereka pun pernah merasa berat untuk menerima suatu ayat. Ayat, saudaraku, bukan hadits. Cobalah bayangkan perasaan yang muncul di dalam hati mereka tatkala itu, beratnya bukan main. Sampai-sampai mereka mengadu dan bersimpuh di hadapan baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan jujur mereka sampaikan unek-unek mereka. Namun apa jawaban Rasulullah?

Apakah Rasulullah kemudian berusaha mencari-cari keringanan dan mencoba menghibur hati para sahabat dan mengatakan “Sabarlah, pasti Allah akan memberikan keringanan”. Tidak, sama sekali tidak !! Bahkan keimanan yang kokoh dan menghunjam di dalam dada beliau menuntut beliau untuk bersikap tegas dan mengatakan, “Apakah kalian ingin mengatakan sebagaimana ucapan kaum Yahudi dan Nasrani yang berkata, “Kami dengar dan kami durhakai”. (Jangan demikian) Akan tetapi ucapkanlah, “Kami dengar dan kami taati” (meskipun hal itu terasa berat). Allaahu Akbar ! Inilah bukti kekuatan iman saudaraku…

Inilah syi’ar orang-orang beriman di sepanjang masa. “Sami’naa wa atha’naa”. Dan lihat juga bagaimana reaksi yang muncul dari para sahabat ketika itu. Mereka lebih memilih untuk tunduk dan patuh. Mereka tidak mendebat dan membantah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan akal dan pikiran-pikiran mereka.

Subhanallah, … jauh sekali perbedaannya dengan sebagian kaum yang hidup di jaman belakangan ini. Mereka berani membantah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan akalnya. Bahkan di antara mereka ada yang membantah ayat Al Qur’an dengan pikirannya. Subhaanallah !! Kepada siapakah kaum seperti ini berkiblat ? Apakah kepada para sahabat yang disebut oleh Nabi sebaik-baik manusia, ataukah kepada Ahlul Kitab yang berani memutarbalikkan ayat dan firman Tuhan mereka ?…

Ingatlah perkataan emas seorang ulama kita Abu Ja’far Ahmad Ath Thahawi rahimahullah di dalam Aqidah Thahawiyah-nya, “Tidak akan pernah kokoh pijakan keIslaman seseorang kecuali di atas landasan ketundukan dan penyerahan diri”. Inilah akidah salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menyelisihi akidahnya kaum ahlul bid’ah wal ahwaa’ (silakan baca sebuah buku yang sangat bagus tulisan Al Ustadz Abdul Hakim bin ‘Amir Abdat berjudul Lau Kaana Khairan lasabakuuna ilaihi, semoga Allah menjaganya)

-bersambung insya Allah-

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Dakwah Bagian Ibadah Yang Mulia

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang menyeru (berdakwah) kepada Allah dan beramal shalih serta mengatakan; ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim’.” (QS. Fushshilat: 33). Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada seorangpun yang lebih baik ucapannya daripada orang yang berdakwah ilallah.

Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Katakanlah: ‘Inilah jalanku, aku bersama orang-orang yang mengikutiku mengajakmu kepada Allah di atas landasan bashirah, dan Maha suci Allah, aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik’.” (QS. Yusuf: 108)

Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Dan hendaklah ada di antara kalian sekelompok orang yang menyuruh kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Ajaklah kepada jalan Rabbmu dengan cara yang hikmah, nasihat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik…” (QS. An-Nahl: 125)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengajak kepada suatu kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana pelakunya.” (HR. Muslim)

Dengan ayat dan hadits tersebut jelaslah bagi kita bahwa dakwah adalah ibadah.

Syarat Sah Ibadah

Ibadah tidak akan diterima kecuali apabila memenuhi dua syarat: ikhlas dilakukan demi Allah ta’ala dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah maka hendaknya dia beramal shalih dan tidak berbuat syirik dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (QS. Al Kahfi: 110)

Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan ayat “Supaya Dia menguji kalain siapakah diantara kalian orang yang paling baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2) dengan mengatakan: Yaitu yang paling ikhlas dan paling benar. Makna dari ikhlas adalah mengerjakan amal itu murni untuk Allah. Sedangkan makna benar adalah mengikuti tuntunan Rasulullah. Kedua syarat ini harus terpenuhi semuanya. Apabila salah satu tidak ada maka ibadah itu tidak akan diterima.

Ibnu Qasim rahimahullah berkata: Di dalam dakwah ilallah ta’ala harus terpenuhi dua syarat: yaitu harus ikhlas untuk mengharap wajah Allah ta’ala dan harus sesuai dengan tuntunan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau dia kehilangan syarat pertama maka dia adalah seorang musyrik. Dan kalau dia kehilangan syarat kedua maka dia adalah seorang pembuat bid’ah.

Kesempurnaan Syariat

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku sudah sempurnakan bagimu agamamu, dan Aku telah cukupkan atasmu nikmat-Ku dan Aku juga telah ridha Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al Maa’idah: 3). Oleh sebab itu tidak ada sesuatupun yang diperlukan oleh umat ini di masa kini maupun masa depan melainkan sudah dijelaskan oleh Allah dengan gamblang sehingga mereka bisa mengetahui hukumnya haram ataukah halal.

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Alif Lam Raa’. Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya dengan izin Rabb mereka menuju jalan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim: 1)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai umat manusia, sesungguhnya tidak ada sesuatupun yang dapat mendekatkan kalian ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah kuperintahkan kepada kalian. Dan tidak ada sesuatupun yang mendekatkan ke neraka dan menjauhkan kalian dari surga kecuali telah kularang kalian darinya.” (HR. Al Baghawi dalam Syarhu Sunnah)

Berpegang Teguh Dengan Tuntunan Adalah Jalan Keselamatan

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak juga celaka.” (QS. Thaha: 123)

Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah secara bersama-sama dan janganlah kalian berpecah belah…” (QS. Ali Imran: 103)

Yang dimaksud dengan tali Allah adalah al-Qur’an, sebagaimana tercantum dalam hadits. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua buah pegangan : salah satunya adalah Kitabullah; dan itulah tali Allah. Barang siapa yang mengikutinya maka dia akan berada di atas hidayah. Dan barang siapa yang meninggalkannya maka dia berada di atas kesesatan.” (HR. Muslim)

Konsekuensi berpegang teguh dengan al-Qur’an adalah juga harus berpegang teguh dengan As Sunnah. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Apa saja yang dibawa rasul kepada kalian maka ambillah, dan apa saja yang dilarangnya dari kalian maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr: 7)

Imam Malik mengatakan: “As Sunnah adalah seperti perahu Nabi Nuh. Barang siapa yang menaikinya maka dia akan selamat. Dan barang siapa yang tertinggal darinya maka dia akan tenggelam.”

Peringatan Keras Akan Bahaya Bid’ah

Bid’ah adalah segala bentuk perbuatan melakukan atau meninggalkan sesuatu yang diniatkan untuk beribadah kepada Allah padahal cara itu bukanlah termasuk bagian dari ajaran agama. Bid’ah bisa juga menyusup dalam bidang adat, bukan ibadah saja. Hal itu karena sesuatu yang pada asalnya adat itu telah dijadikan oleh orang untuk niat beribadah. Karena meyakini sesuatu yang mubah menjadi sunnah atau wajib adalah sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Demikianlah pendapat yang benar dan didukung oleh para ulama seperti Ibnu Taimiyah dan Imam Syathibi. Sehingga perkara-perkara adat pun bisa dimasukkan dalam kategori maksud ibadah. Oleh sebab itu perbuatan semacam memakai wol dalam rangka ibadah kepada Allah adalah termasuk bid’ah, demikianlah yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Contoh lain adalah tidak mau memakan daging adalah sesuatu yang termasuk perkara adat kebiasaan, bukan bagian dari ibadah. Akan tetapi ketika tidak memakan daging itu dijadikan sebagai salah satu cara pendekatan diri dan beribadah kepada Allah maka amalan itu termasuk dalam kategori perbuatan bid’ah.

Dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah serta ucapan para ulama salaf yang mencela bid’ah sunguuh sangat banyak jumlahnya. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan bahwasanya yang Kami perintahkan adalah jalanku yang lurus ini, maka ikutilah ia dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain karena itu akan memecah belah kalian dari jalan Allah. itulah yang Allah pesankan kepada kalian mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al An’aam: 153).

Mujahid menafsirkan kata ‘jalan-jalan yang lain’ di dalam ayat tersebut sebagai bid’ah dan syubhat. Allah ta’ala juga memperingatkan dengan keras di dalam ayat-Nya, “Hendaknya merasa takut orang-orang yang menyimpang dari ajaran Rasul kalau-kalau mereka itu nanti tertimpa fitnah atau siksa yang sangat pedih.” (QS. An Nuur: 63)

Yang dimaksud dengan fitnah di dalam ayat ini adalah syirik, kekafiran, kemunafikan atau kebid’ahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membenci sunnahku maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu ‘Umar mengatakan: “Ikutilah tuntunan dan jangan kalian menciptakan kebid’ahan.” Beliau juga mengatakan: “Semua bid’ah adalah sesat meskipun orang-orang menganggapnya baik.” Sufyan Ats Tsauri mengatakan: “Bid’ah itu lebih disukai iblis daripada maksiat. Karena maksiat masih mungkin untuk diharap taubatnya. Sedangkan bid’ah susah untuk diharap taubatnya.”

Imam Ahmad mengatakan: “Landasan As Sunnah dalam pandangan kami adalah: berpegang teguh dengan pemahaman para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meneladani mereka, meninggalkan kebid’ahan-kebid’ahan, dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Pembahasan ini disarikan dari kitab Hujajul Qawiyyah ‘ala Anna Wasa’ila Da’wah Tauqifiyah

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Syirik Mengerikan

Setiap muslim pasti mengetahui bahwa syirik hukumnya adalah haram. Namun, apakah kita telah mengetahui hakikat syirik serta seberapa besar tingkat keharaman dan bahayanya? Boleh jadi ada yang berkata, “Syirik itu haram, harus ditinggalkan!”, namun dalam kesehariannya justru bergelimang dalam amalan kesyirikan sedangkan ia tidak menyadarinya. Oleh karena itu ada baiknya kita kupas permasalahan ini agar tidak terjadi kerancuan di dalamnya.

Makna Syirik

Alloh memberitakan bahwa tujuan penciptaan kita tidak lain adalah untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman Alloh, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56). Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Alloh baik berupa perkataan atau perbuatan, yang lahir maupun yang batin. Ibadah disini meliputi do’a, sholat, nadzar, kurban, rasa takut, istighatsah (minta pertolongan) dan sebagainya. Ibadah ini harus ditujukan hanya kepada Alloh tidak kepada selain-Nya, sebagaimana firman Alloh Ta’ala, “Hanya kepadaMu lah kami beribadah dan hanya kepadaMu lah kami minta pertolongan.” (Al Fatihah: 5)

Barangsiapa yang menujukan salah satu ibadah tersebut kepada selain Alloh maka inilah kesyirikan dan pelakunya disebut musyrik. Misalnya seorang berdo’a kepada orang yang sudah mati, berkurban (menyembelih hewan) untuk jin, takut memakai baju berwarna hijau tatkala pergi ke pantai selatan dengan keyakinan ia pasti akan ditelan ombak akibat kemarahan Nyi Roro Kidul dan sebagainya. Ini semua termasuk kesyirikan dan ia telah menjadikan orang yang sudah mati dan jin itu sebagai sekutu bagi Alloh subhanahu wa ta’ala.

Kedudukan Syirik

Syirik merupakan dosa besar yang paling besar. Abdullah bin Mas’ud rodhiyallohu ta’ala ‘anhu berkata: Aku pernah bertanya kepada Rosululloh , “Dosa apakah yang paling besar di sisi Alloh?” Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau menjadikan sekutu bagi Alloh, padahal Dialah yang telah menciptakanmu.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Maka sudah selayaknya bagi kita untuk berhati-hati jangan sampai ibadah kita tercampuri dengan kesyirikan sedikit pun, dengan jalan mempelajari ilmu agama yang benar agar kita mengetahui mana yang termasuk syirik dan mana yang bukan syirik. Hendaklah kita merasa takut terjerumus ke dalam kesyirikan, karena samarnya permasalahan ini sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Wahai umat manusia, takutlah kalian terhadap kesyirikan, karena syirik itu lebih samar dari (jejak) langkah semut.” (HR. Ahmad)

Syirik Menggugurkan Seluruh Amal

Orang yang dalam hidupnya banyak melakukan amal sholeh seperti sholat, puasa, shodaqoh dan lainnya, namun apabila dalam hidupnya ia berbuat syirik akbar dan belum bertaubat sebelum matinya, maka seluruh amalnya akan terhapus. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan jika seandainya mereka menyekutukan Alloh, maka sungguh akan hapuslah amal yang telah mereka kerjakan.” (Al- An’am: 88)

Begitu besarnya urusan ini, hingga Alloh Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu Jika kamu mempersekutukan Alloh, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az Zumar: 65). Para Nabi saja yang begitu banyak amalan mereka diperingatkan oleh Alloh terhadap bahaya syirik, yang apabila menimpa pada diri mereka maka akan menghapuskan seluruh amalnya, lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita merasa aman dari bahaya kesyirikan?

Oleh karena itu beruntunglah orang-orang yang menyibukkan diri dalam mempelajari masalah tauhid (lawan dari syirik) dan syirik agar bisa terhindar sejauh-jauhnya, serta merugilah orang-orang yang menyibukkan dirinya dalam masalah-masalah yang lain atau bahkan menghalang-halangi dakwah tauhid!!

Pelaku Syirik Akbar Kekal di Neraka dan Dosanya Tidak Akan Diampuni Oleh Alloh Ta’ala

Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” (An-Nisa’: 48). Juga firman-Nya yang artinya, “Barangsiapa yang mensekutukan Alloh, pasti Alloh haramkan atasnya untuk masuk surga. Dan tempatnya adalah di neraka. Dan tidak ada bagi orang yang dhalim ini seorang penolongpun.” (Al-Ma’idah: 72).

Orang Musyrik Haram Dinikahi

Hal ini berdasarkan firman Alloh yang artinya, “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Alloh mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Alloh menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah: 221)

Sembelihan Orang-Orang Musyrik Haram Dimakan

Alloh Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Alloh ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Al-An’am: 121)

Begitu besarnya bahaya syirik, maka sudah selayaknya bagi setiap orang untuk takut terjerumus dalam dosa ini yang akan menyebabkan ia merugi di dunia dan di akhirat. Bagaimana mungkin kita tidak takut padahal Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam saja takut terhadap masalah ini? Sampai-sampai beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam berdoa supaya dijauhkan dari perbuatan syirik. Beliau mengajarkan sebuah do’a yang artinya, “Ya Alloh, aku berlindung kepada-Mu dari mempersekutukan-Mu padahal aku mengetahui bahwa itu syirik. Dan ampunilah aku terhadap dosa yang tidak aku ketahui.” (HR. Ahmad)

Semoga Alloh Ta’ala menjaga kita semua dari kesyirikan. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita shollallohu ‘alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.

***

Penulis: Ibnu Ali Sutopo Yuwono
Artikel www.muslim.or.id

Akibat Dari Sebuah Kemaksiatan dan Kelalaian

Kemaksiatan dan kelalaian, dua hal yang melahirkan berbagai jenis penderitaan di dalam diri manusia. Tidakkah anda ingat bagaimana penyesalan Nabi Adam ‘alahis salam tatkala menyadari kesalahannya setelah mendurhakai Rabb-nya? Tidakkah anda ingat bagaimana penyesalan orang-orang kafir di akhirat yang mengandaikan kalau saja ketika di dunia mereka hanya menjadi sebongkah tanah saja? Tidakkah anda ingat bagaimana penyesalan dan hukuman yang harus dirasakan oleh Ka’ab bin Malik bersama dua orang sahabatnya yang sama-sama tidak ikut perang Tabuk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang lainnya? Lihatlah pada diri mereka; betapa kemaksiatan dan kelalaian telah menjauhkan mereka dari ketenteraman dan kebahagiaan. Aduhai, adakah manusia yang sudi hidup dirundung rasa takut, tersiksa, dan larut dalam kesedihan demi kesedihan…

Saudaraku, semoga Allah memberikan taufik kepada aku dan kamu, ingatlah bahwa hakikat kehidupan kita di dunia ini adalah demi menjalankan sebuah misi yang sangat agung yaitu beribadah kepada Allah ta’ala semata. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (hanya) kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56). Dan sesungguhnya beribadah kepada Allah itu adalah dengan melakukan apa yang Allah cintai dan meninggalkan apa yang Allah benci.

Sekarang Saatnya Menanam Pohon Ketaatan

Saudaraku, maka dari itu kehidupan ini adalah ladang amal bagi kita. Apabila kita menanam kebaikan-kebaikan di dunia ini, niscaya kita akan menuai hasil yang menggembirakan di hari kemudian. Namun sebaliknya, apabila ternyata yang kita tanam justru perbuatan dosa dan kemaksiatan, maka jangan salahkan siapa-siapa jika buah yang nantinya kita rasakan di hari kemudian adalah buah Zaqqum dan minuman mendidih yang menjijikkan dan menghancurkan saluran pencernaan.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang, pent) sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’aad (kari kiamat). Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ’sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus…” (Al Fawa’id, hal. 158).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda memberikan nasihat yang sangat berharga kepada setiap kita, “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang yang asing atau orang yang sedang mengadakan perjalanan.” Ibnu ‘Umar mengatakan, ‘Apabila kamu berada di waktu sore, janganlah menunggu datangnya waktu pagi. Dan apabila kamu berada di waktu pagi janganlah menunggu datangnya waktu sore. Manfaatkanlah saat sehatmu sebelum datang saat sakitmu, dan gunakan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.’.” (HR. Bukhari).

An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Janganlah kamu terlalu menggantungkan hati kepada dunia, dan jangan jadikan ia sebagai tempat tinggal, janganlah kamu katakan kepada dirimu bahwa kamu selamanya akan tinggal di sana. Janganlah bergantung kepadanya kecuali sekedar seperti orang asing yang membutuhkan sesuatu hal ketika berada di suatu tempat di luar daerah asalnya yang tetap memendam rasa rindu untuk kembali kepada keluarganya.” (Durrah Salafyah, hal. 276). Beliau juga menandaskan bahwa di dalam hadits ini kita diajari untuk memendekkan angan-angan yang tidak sepantasnya, menyegerakan bertaubat, dan bersiap-siap untuk menghadapi kematian (Durrah Salafyah, hal. 276).

Siapakah di antara kita yang bisa menjamin bahwa besok pagi kita masih hidup? Oleh sebab itu manfaatkanlah waktu yang masih ada ini dengan sebaik-baiknya untuk berbuat ketaatan. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma telah berpesan kepada kita, “Apabila kamu berada di waktu sore janganlah menunggu datangnya waktu pagi. Dan apabila kamu berada di waktu pagi janganlah menunggu datangnya waktu sore.” Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Artinya apabila kamu berada di waktu sore jangan kamu katakan: Aku pasti masih akan hidup hingga pagi besok. Betapa banyak orang yang memasuki waktu sore namun ternyata tidak sempat menikmati waktu pagi di keesokan harinya…” (Durrah Salafiyah, hal. 279).

Kematian pasti datang dan tidak dapat dielakkan. Kalau ia telah datang menjemput maka amal telah terputus. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang manusia meninggal maka akan terputus amalnya kecuali tiga perkara : sedekah yang terus mengalir (pahalanya), ilmu yang dimanfaatkan orang lain, atau anak saleh yang mendoakan kebaikan bagi orang tuanya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Maka sudah sepantasnya bagi setiap orang berakal yang masih hidup serta berada dalam kondisi sehat dan segar bugar untuk bersemangat mengerjakan amal sebelum dia meninggal dan ketika itulah amalnya menjadi terputus.” (Durrah Salafiyah, hal. 280).

Seorang khalifah yang lurus dan mendapatkan bimbingan hidayah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Bersikap pelan-pelan dalam segala hal itu adalah baik kecuali dalam mengerjakan berbagai kebajikan demi meraih kebahagiaan di akherat kelak.” Hasan Al Bashri juga menasihatkan, “Bersegeralah, bersegeralah! Karena hidup kita ini sebenarnya adalah tarikan nafas demi tarikan nafas. Seandainya tarikan-tarikan itu dihentikan dari diri kalian niscaya akan terputuslah amal-amal yang sedang kalian kerjakan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla. Semoga Allah merahmati seorang manusia yang memperhatikan dirinya sendiri dan menangisi sekian banyak jumlah dosa yang telah dia lakukan…” (Durrah Salafiyah, hal. 280). Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu juga menasihati kita dengan sebuah nasihat yang sangat menyentuh, “Sesungguhnya dunia pasti akan lenyap dan pergi tunggang-langgang. Sedangkan akhirat pasti akan datang dan menghadang. Dan masing-masing di antara keduanya mempunyai anak-anak yang mengejarnya. Maka jadilah kalian sebagai ‘anak-anak akhirat’. Dan janganlah kalian termasuk ‘anak-anak dunia’. Karena sesungguhnya masa sekarang ini (kehidupan dunia) adalah masa untuk beramal serta belum ada hisab (perhitungan). Adapun esok (hari akhirat) adalah perhitungan yang tidak ada lagi kesempatan untuk beramal. ” (lihat Durrah Salafiyah, hal. 280).

Pahitnya Buah Kemaksiatan dan Kelalaian

Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, “Sedikitnya taufik (pertolongan dari Allah), rusaknya pemikiran, tersamarnya kebenaran, rusaknya isi hati, tidak membekasnya bacaan zikir yang dibaca, perjalanan waktu yang tersia-siakan, ketidaksukaan dan kepergian teman, perasaan hampa dan sempit pada diri seorang hamba di hadapan Rabbnya, terhambatnya pengabulan doa, hati yang keras, tercabutnya keberkahan dalam urusan rezeki dan umur, terhalang mendapatkan ilmu, terselimuti dengan kehinaan dan kerendahan karena tekanan musuh, perasaan sempit dada, tertimpa musibah berupa dikelilingi oleh teman-teman dekat yang jelek sehingga merusakkan isi hati dan membuang-buang waktu, kesedihan dan gundah gulana yang berkepanjangan, penghidupan yang sempit dan tertutupnya kemampuan untuk memperbaiki keadaan diri, itu semua terlahir dari kemaksiatan dan kelalaian untuk mengingat Allah. [Itulah dampak kemaksiatan] Sebagaimana halnya tanaman yang tumbuh dari dalam genangan air, atau seperti panas yang membakar dari sebuah nyala api. Sedangkan hal-hal yang menjadi lawan dari itu semua akan muncul dari ketaatan.” (Al Fawa’id, hal. 35-36).

Pada suatu saat Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengisahkan, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apabila kemaksiatan telah merajalela di kalangan umatku maka Allah meratakan azab kepada mereka semua dari sisi-Nya…’.” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ [5231] dan Sahih Sunan Abu Dawud [4347]. Lihat Ad Daa’ wa Ad Dawaa’, hal. 51).

Allah ta’ala berfirman,

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ . كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

“Telah dilaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Isra’il melalui lisan Daud dan ‘Isa bin Maryam, hal itu dikarenakan perbuatan maksiat yang mereka lakukan dan mereka senantiasa melampaui batas. Mereka tidak saling melarang dari kemungkaran yang dilakukan di antara mereka. Sungguh jelek apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al Ma’idah: 78)

Di dalam ayat yang mulia ini Allah ta’ala mengabarkan kepada kita bahwa Bani Isra’il mendapatkan laknat dari Allah karena kemaksiatan yang mereka lakukan, sikap mereka yang melampai batas, dan mereka tidak menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Artinya (mereka dilaknat) karena kemaksiatan mereka kepada Allah dan kezaliman mereka terhadap hamba-hamba Allah. Itulah yang menjadi sebab kekafiran mereka dan jauhnya mereka dari rahmat Allah. Karena sesungguhnya perbuatan-perbuatan dosa dan kezaliman itu pasti membuahkan hukuman-hukuman…” (Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 241).

Saudaraku, ingatlah bahwa segala macam bentuk kemaksiatan dan kelalaian adalah termasuk tindak kezaliman. Sebab hak Allah atas hamba-Nya adalah untuk ditaati bukan didurhakai, diingat dan bukan dilalaikan. Kezaliman ada tiga macam : kezaliman manusia terhadap hak Allah yaitu syirik, kezaliman manusia kepada dirinya sendiri itulah yang biasa disebut dengan maksiat, serta kezaliman terhadap sesama. Ketiga hal ini adalah kezaliman dan juga sekaligus kemaksiatan. Kalau kezaliman seorang hamba kepada dirinya adalah maksiat, maka bagaimana lagi kezalimannya kepada orang lain, dan bagaimanakah lagi jika yang dizaliminya adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala Dzat yang telah menciptakan dirinya?

Apakah sebab timbulnya berbagai macam kerusakan di atas muka bumi ini kalau bukan karena kemaksiatan yang dilakukan oleh umat manusia? Allah ta’ala berfirman,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ

“Telah tampak kerusakan di atas daratan dan juga di lautan dikarenakan apa yang telah diperbuat oleh tangan-tangan manusia…” (QS. Ar Ruum: 41)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Tindakan merusak bumi itu terdiri dari dua bentuk: Pertama, perusakan secara fisik yang bisa dilihat dengan indera, yaitu seperti dengan cara merobohkan rumah-rumah, merusak jalan-jalan, dan kejahatan lain semacamnya. Yang kedua adalah perusakan secara maknawi, yaitu dengan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Pada hakekatnya maksiat itulah sebesar-besar tindak perusakan yang terjadi di atas muka bumi.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas (Al Qaul Al Mufid, II/77).

Dan karena kezaliman pulalah umat-umat terdahulu yang durhaka dihancurkan oleh Allah dengan berbagai macam bentuk siksaan dan bencana yang mengerikan. Allah ta’ala berfirman,

وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ

“Dan tidaklah Kami akan menghancurkan negeri-negeri itu kecuali karena para penduduknya adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Qashash: 59)

Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang yang gemar berbuat zalim berupa kekafiran atau maksiat memang berhak untuk menerima hukuman dari Allah. Karena Allah tidak akan menghukum siapa pun kecuali karena kezaliman yang dilakukannya dan setelah hujjah ditegakkan kepadanya (lihat Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 621).

Oleh sebab itu Allah ta’ala melarang keras tindak perusakan di atas muka bumi ini dengan segala jenisnya. Allah ta’ala berfirman,

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

“Dan janganlah kalian melakukan perusakan di atas muka bumi setelah sebelumnya ia diperbaiki…” (QS. Al A’raaf: 56)

Sembari menukil ayat, Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Dan janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi” Artinya adalah (jangan berbuat kerusakan, pent) dengan melakukan berbagai perbuatan maksiat. “Sesudah dia diperbaiki.” Artinya adalah (sebelumnya bumi itu telah baik, pent) dengan amal-amal ketaatan. Karena sesungguhnya berbagai perbuatan maksiat itu menjadi sebab rusaknya akhlak, rusaknya amalan dan carut marut rezeki. Ini serupa dengan firman Allah ta’ala yang artinya, “Telah muncul kerusakan di daratan dan di lautan dengan sebab ulah tangan-tangan manusia.” Sebagaimana halnya berbagai perbuatan ketaatan menjadi sebab baiknya akhlak, bagusnya amalan, dan kelancaran rezeki serta kebaikan kondisi di dunia maupun di akhiat.” (Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 292).

Belum lagi, kalau kita mengetahui bahwasanya kezaliman yang kita lakukan itu ternyata akan menghalangi kita dari mendapatkan manisnya hidayah. Tentunya setelah menyadari hal ini kita akan berusaha untuk menjauhkan diri darinya sejauh-jauhnya. Allah ta’ala berfirman,

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Maka apabila mereka tidak memenuhi seruanmu (wahai Muhammad), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itu hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al Qashash: 50)

Orang-orang yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang yang kezaliman telah menjadi karakter hidupnya dan suka menentang (kebenaran) telah melekat dalam perangainya. Ketika hidayah menyapa, mereka justru menolaknya. Mereka lebih senang menuruti kemauan hawa nafsunya. Mereka sendirilah yang menutup pintu-pintu dan jalan menuju hidayah. Mereka justru membuka pintu-pintu kesesatan dan jalan menuju ke sana. Mereka menutup mata dan tidak mau tahu, padahal mereka telah tenggelam dalam kesesatan dan penyimpangan. Mereka terombang-ambing, hidup di ambang kehancuran (lihat Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 618). Ayat ini juga merupakan dalil yang menunjukkan bahwa semua orang yang tidak mau memenuhi seruan Rasul dan justru menganut pendapat yang menyelisihi ucapan Rasul maka dia tidaklah bermazhabkan bimbingan hidayah akan tetapi mazhabnya adalah hawa nafsu (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 618).

Padahal kita sudah sama-sama tahu bahwa hidayah adalah perkara yang sangat kita butuhkan, lebih daripada kebutuhan kita kepada makanan dan minuman. Tidakkah kita ingat sebuah doa nan indah yang selalu terucap dari lisan orang yang melakukan shalat lima waktu yang dilakukannya setiap hari? ‘Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus’. Bukankah itu doa yang terus kita panjatkan di setiap rakaat shalat yang kita lakukan? Apakah itu artinya? Apakah itu berarti kita mengucapkan sesuatu yang sia-sia dan tanpa makna? Apakah itu artinya kita bisa hidup tenteram dan bahagia tanpa bimbingan dan petunjuk dari Allah ta’ala? Tidakkah kita sadar bahwa hal itu menunjukkan bahwa hidayah itu lebih penting dari segala kebutuhan dunia; yang primer, sekunder, apalagi tersiernya? Lalu apalah artinya kita hidup jika tanpa bimbingan dan pertolongan dari-Nya? Lihatlah betapa pahit akibat yang harus dirasakan oleh orang yang bermaksiat kepadanya; kehilangan sesuatu yang paling berharga dan menjadi ruh kehidupannya yaitu hidayah dari Allah ta’ala, la haula wa la quwwata illa billah…

Penyebab Terjadinya Maksiat

Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, “Tidaklah seorang hamba menerjang sesuatu yang diharamkan oleh Allah melainkan disebabkan oleh [salah satu di antara] dua kemungkinan:

Pertama: Karena persangkaan buruknya kepada Rabbnya. Dia mengira kalau dia tetap taat kepada Allah serta lebih mengutamakan keinginan-Nya maka Allah tidak akan memberikan ganti lebih baik darinya yang halal untuk dinikmati.

Kedua: Dia telah menyadari hal itu, dan dia pun tahu bahwa orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik darinya. Akan tetapi hawa nafsunya telah menguasai dirinya sehingga dia tidak lagi bersabar dan dia pun telah mencampakkan akal sehatnya.

Yang pertama terjadi karena lemahnya ilmu yang dia punyai. Sedangkan yang kedua terjadi karena lemahnya akal dan kejernihan mata hati yang dia miliki…” (Al Fawa’id, hal. 46).

Wahai saudaraku, marilah kita cermati diri kita masing-masing. Tidakkah kita ingat, dahulu kita ini bukan apa-apa. Kita dulu belum terlahir ke alam dunia, kita dulu tidak mengetahui apa-apa, tidak punya apa-apa, dan tidak bisa melakukan apa-apa. Lantas Allah menciptakan kita dengan rupa dan bentuk yang amat sempurna. Dan Allah mengaruniakan akal, penglihatan, pendengaran, dan hati kepada kita. Allah juga yang menciptakan berbagai macam binatang ternak, tanaman, dan buah-buahan sehingga bisa dinikmati oleh manusia. Allah juga yang memberikan akal dan kecerdasan kepada umat manusia sehingga mereka bisa mengembangkan teknologi canggih di mana-mana. Apakah yang telah membuat kita lalai dan larut dalam kemaksiatan kepada-Nya?

Apakah dengan melakukan maksiat itu berarti kita menyangka Allah tidak melihat perbuatan kita? Apakah dengan melakukan maksiat itu berarti kebahagiaan yang hakiki akan kita raih, atau justru sebaliknya; perasaan sedih, menyesal, bersalah, dan gundah gulana yang akan mengisi relung-relung hati kita? Tidakkah orang yang miskin menyadari bahwa dengan mencuri dia tidak akan menjadi kaya, bahkan bisa jadi dia akan dijebloskan ke dalam penjara? Tidakkah orang yang kehausan sadar bahwa dengan meminum khamr maka rasa hausnya justru tidak akan terobati dan bahkan dirinya akan semakin tersiksa? Tidakkah para koruptor sadar bahwa uang haram yang dia masukkan ke dalam rekeningnya justru akan mencabut keberkahan hartanya serta menyiksa hati dan pikirannya, dan bisa jadi menjatuhkan kedudukannya di hadapan masyarakat, atau paling tidak mereka akan dimurkai oleh Allah ta’ala? Apakah setelah menyadari ini semua -wahai insan- kamu akan tetap bersikeras bermaksiat dan lalai dari mengingat keagungan-Nya?

Allah ta’ala berfirman,

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

“Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka dengan mengingat Allah dan kebenaran yang diturunkan. Dan janganlah mereka menjadi seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberikan Al Kitab, masa yang panjang mereka lalui (dengan kelalaian) sehingga hati mereka pun mengeras, dan banyak sekali di antara mereka yang menjadi orang-orang fasik.” (QS. Al Hadid: 16)

Apakah belum tiba waktunya bagi kita untuk mengisi hari-hari kita dengan bacaan al-Qur’an dan mentadabburinya? Apakah belum tiba waktunya bagi kita untuk tunduk secara total mengikuti keindahan ajaran syari’at-Nya? Ataukah kita akan membiarkan hati ini mengeras tanpa siraman ayat-ayat-Nya dan panduan ajaran Nabi-Nya? Wahai manusia, sesungguhnya Allah sangat menyayangi diri kalian, oleh sebab itu Allah turunkan al-Qur’an bagi kalian untuk dipelajari bukan untuk dicampakkan. Allah utus Nabi-Nya kepada kalian untuk kalian ikuti bukan untuk ditinggalkan. Maka alangkah meruginya kalian jika kalian justru menyia-nyiakan bimbingan ilahi ini. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hati-hati manusia sangat butuh untuk berzikir dan mengingat wahyu yang diturunkan oleh Allah serta mengisi ucapan-ucapannya dengan hikmah. Tidak semestinya hal itu dilalaikan. Karena kelalaian adalah penyebab keras dan membekunya hati.” (Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 840).

Kita memohon kepada Allah dengan keagungan nama-nama dan sifat-sifat-Nya semoga Allah menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat, kekhusyu’an dalam beribadah, dan rasa takut kepada-Nya baik di saat bersama manusia maupun tidak bersama mereka. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita taubatan nasuha sehingga Allah mengampuni dosa dan kesalahan-kesalahan kita. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi rabbil ‘alamiin.

Yogyakarta, 19 Shafar 1429/ 27 Februari 2008

Saudaramu di jalan Allah,

Abu Mushlih Ari Wahyudi

Semoga Allah menerima taubatnya,
Dan juga kaum muslimin semuanya

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Hadiah untuk Ayah dan Ibu

Untuk ayah dan ibu yang telah berjasa besar mengasuh anak-anaknya semoga Allah menyelamatkan keluarga kita dari api neraka dan mengumpulkan kita di dalam surga-Nya.

Kepada Ayah dan Bunda di Rumah Semoga Allah Menjaga Agama dan Dunia Kita

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Ayah dan ibu yang tercinta. Putramu kini telah dewasa berkat bimbingan dan asuhan ayah dan ibu. Tiada balasan yang bisa ananda berikan untuk menebus kebaikan ayah dan ibu selain doa dan harapan semoga Allah membalasnya dengan kebaikan sebanyak-banyaknya


Seorang anak wajib berbakti kepada kedua orang tuanya. Inilah kewajiban ananda. Sebagaimana Allah ta’ala telah tetapkan kewajiban ini di dalam kitab-Nya:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً

“Tuhanmu memerintahkanmu agar kamu tidak menyembah kecuali kepada-Nya dan untuk berbakti kepada kedua orang tua.” (QS. Al Israa’: 23)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah ditanya, “Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Shalat tepat pada waktunya”. Kemudian beliau ditanya apalagi amal yang paling dicintai sesudahnya. Beliau pun menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua” (HR. Bukhari)

Duhai, alangkah mulia kedudukan orang tua di dalam agama Islam. Sampai-sampai Nabi memasukkan dosa durhaka kepada mereka berdua sebagai dosa besar yang terbesar setelah dosa syirik. Beliau bersabda, “Maukah kalian kuberitahukan tentang dosa besar yang terbesar?” Maka para sahabat mengatakan, “Tentu mau wahai Rasulullah”. Maka beliau mengatakan, “Yaitu mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ridha orang tua menjadi salah satu sebab turunnya Ridha Allah ta’ala. Nabi bersabda, “Ridha Allah ada pada ridha kedua orang tua. Dan murka-Nya ada pada murka kedua orang tua.” (HR. Tirmidzi, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 3500)

Ayahanda, putramu telah mendapatkan banyak pelajaran berharga setelah membaca tulisan para ulama dan mengikuti pengajian-pengajian yang mereka adakan. Sungguh ini semua tidak akan terjadi tanpa pertolongan Allah kemudian bantuan ayah dan bunda kepada ananda. Inilah nikmat yang sangat agung, nikmat hidayah. Ketika kami duduk bersama para penuntut ilmu, kami baca buku-buku para ulama itu dan kami dengarkan penjelasan mereka maka kami pun menemukan kebenaran. Tentu saja kami bergembira mendapatkannya. Sebagaimana dulu sewaktu masih kecil kami sangat senang apabila menyambut kedatangan ayahanda pulang dari tempat kerja. Sungguh tiada kebahagiaan dunia yang melebihi kebahagiaan berjalan di atas hidayah.

Wahai Ayahku, Putramu Ingin Mengadu Kepadamu…

Setelah kami dapatkan ilmu seteguk demi seteguk, ternyata kebenaran yang kami pelajari banyak dilanggar oleh masyarakat. Aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya banyak diabaikan oleh orang. Mulai dari perbuatan syirik, minum khamar, berjudi, pamer aurat hingga membunuh jiwa yang tidak bersalah. Sungguh kenyataan hidup yang sangat memilukan. Kami sadar memang kebenaran itu sedikit pengikutnya. Akan tetapi bukankah Allah menciptakan manusia dalam keadaan memiliki fitrah untuk mengabdi kepada-Nya. Semua bayi yang dilahirkan pasti membawa fitrah. Sebagaimana sebuah sabda Nabi yang sering kita dengar, “Semua bayi terlahir di atas fitrah. Maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari)

Semua orang Islam tentu ingin menjadi penghuni surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku pasti akan masuk surga kecuali orang yang tidak mau” Maka para sahabat bertanya siapakah orang yang tidak mau masuk surga. Beliau menjawab, “Barang siapa yang taat kepadaku masuk surga dan barang siapa yang durhaka kepadaku dialah orang yang tidak mau.” (HR. Bukhari) Dan amat disayangkan banyak orang Islam yang sudah tidak paham lagi ajaran agamanya. Mereka meniru budaya dan pemikiran orang-orang kafir. Akhirnya mereka besar dan tumbuh di atas nilai-nilai yang jauh dari nafas ajaran Islam. Udara yang kita hirup di negeri ini seolah-olah bukan udara kaum muslimin. Seolah-olah, nafas menjadi sesak, tenggorokan pun terasa gatal dan jantung pun tak henti-hentinya berdebar. Yang tampak adalah asap maksiat disertai teriknya kezaliman yang menyengat dan membakar kepala.

Ayahku, tidak kami pungkiri, kami ini adalah anak-anak yang masih belia. Kami belum banyak makan asam garam kehidupan. Kami juga tidak mengalami pahit getirnya hidup di bawah penjajahan Belanda dan Jepang yang selalu diceritakan dalam buku-buku sejarah. Kami sadar sepenuhnya, dan kami sangat menghormati jasa perjuangan para pendahulu kami. Oleh sebab itu kami ingin agar hasil perjuangan ini semakin bertambah baik dan sempurna. Apabila dulu umat Islam mengobarkan peperangan melawan penjajah yang menindas negeri kita maka kami pun tidak melakukan hal yang jauh berbeda. Kami sekarang mengajak umat Islam untuk mengobarkan peperangan melawan syaitan yang menjajah hati dan perilaku kehidupan masyarakat kita. Karena Allah ta’ala telah berfirman:

وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

“Janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Karena sesungguhnya dia itu adalah musuhmu yang nyata.” (QS. Al Baqarah: 168)

Bukankah kita sering berdoa kepada Allah agar terhindar dari gangguan syaitan baik yang berbentuk jin maupun yang berwajah manusia? Ya, inilah ajakan kami. Marilah kita selamatkan diri kita dari jebakan syaitan dan bala tentaranya.

Inilah bendera jihad yang dikibarkan oleh para ulama dari zaman ke zaman. Demi melaksanakan perintah Allah ta’ala yang turun dari atas langit sana:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوّاً

“Sesungguhnya syaitan adalah musuh bagi kalian. Maka jadikanlah dia sebagai musuh kalian.” (QS. Faathir: 6)

Inilah pertempuran yang akan terus berlangsung hingga tegaknya hari kiamat. Pertempuran antara kebenaran dan kebatilan. Pertarungan antara wali-wali Ar Rahman dengan wali-wali syaitan. Dan tidak perlu ragu lagi, hanya golongan Allah lah yang akan mendapatkan kemenangan dan keberuntungan. Allah sudah menegaskan:

أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Ketahuilah, hanya golongan Allah sajalah yang menjadi orang-orang yang beruntung.” (QS. Al Mujaadilah: 22)

Tidak perlu cemas dan takut karena Allah pasti menolong orang-orang yang membela agama-Nya. Allah berfirman:

أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ . لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَياةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لاَ تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak perlu merasa takut dan sedih. Mereka adalah orang yang beriman dan senantiasa bertakwa. Mereka mendapatkan kabar gembira di kehidupan dunia dan di akhirat. Tidak ada pembatalan dalam ketetapan Allah. Itulah kemenangan yang besar” (QS. Yunus: 62-64)

Pelajaran Tauhid yang Kami Dapatkan

Ayahku, suatu saat aku duduk di sebuah majelis ilmu. Ustadz (guru ngaji) yang berceramah menjelaskan kepada para penuntut ilmu yang hadir ketika itu tentang sebuah perkara yang sangat penting. Apakah gerangan isi kajian itu? SubhanAllah, tauhid! Ternyata tauhid adalah bagian yang sangat penting dalam ajaran Islam. Bahkan tauhid itulah inti ajaran Islam. Beliau menjelaskan bahwa tauhid itu artinya menujukan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah saja. Inilah makna syahadat Laa ilaaha illAllah, tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Kita tidak boleh menujukan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah, karena itulah perbuatan syirik yang dilarang di dalam Al-Qur’an. Orang yang bergantung kepada selain Allah berarti telah menyandarkan harapan hidupnya secara penuh kepada selain Allah, ini jelas tidak boleh. Sebab hanya Allah saja yang berkuasa menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan kita. Lalu apa alasan yang membolehkan kita pergi ke kubur para wali dan meminta-minta kebutuhan kita di sisi kubur-kubur mereka. Bukankah mereka itu sudah mati. Apa yang bisa dilakukan orang yang sudah mati, tidak ada.

Putramu tidak mengada-ada. Lihatlah sebuah kampung santri di dekat ring road itu, di sana terdapat kubur seorang shalih yang konon katanya keturunan Keraton. Pada saat-saat tertentu kubur itu dikunjungi orang banyak untuk mencari berkah dan berdoa di sisi kuburnya. Tahukah ayah, berapa orang yang datang berkunjung ke sana. Entahlah, aku sendiri belum pernah menghitungnya. Akan tetapi kita bisa bayangkan berapa banyak orang yang dibawa oleh rombongan bis-bis yang datang dari luar kota. Jauh-jauh mereka datang untuk merayakan ulang tahun kematian orang shalih itu dan mencari berkah di sana. Orang-orang yang tinggal di sekelilingnya bukan sembarang orang. Mereka adalah para kyai dan santri, yang sangat akrab dengan sarung dan peci. Tapi apakah mereka melarang perbuatan itu sebagaimana dahulu Nabi melarang menjadikan kubur beliau sebagai tempat perayaan yang dikunjungi orang-orang? Bahkan sebaliknya, mereka semarakkan acara semacam itu dengan berbagai macam hidangan. Inikah yang disebut pariwisata, inikah yang disebut dengan keluhuran budaya nenek moyang yang harus dilestarikan?

Ayahku, itulah sedikit ceritaku. Ayah tentu tahu, syirik adalah dosa terbesar yang tidak akan diampuni oleh Allah. Karena Allah berfirman:

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيماً

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik. Dan Allah mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS An Nisaa’: 48)

Semua orang pasti punya dosa dan kesalahan. Oleh karena itu setiap orang pasti membutuhkan ampunan Allah. Lalu apa jadinya apabila Allah tidak mau mengampuni dosa seseorang. Pasti orang itu akan mengalami siksa. Alangkah malangnya seorang hamba yang meninggal dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya. Allah berfirman:

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“Sesungguhnya barang siapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah telah mengharamkan surga baginya dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu.” (QS Al Maa’idah: 72)

Para Ustadz telah menerangkan kepada kami dengan dalil-dalil yang jelas dan kuat dari Al-Qur’an maupun hadits yang menunjukkan bahwa syirik adalah dosa yang sangat berbahaya. Apabila ada seorang muslim yang melakukan syirik maka seluruh amalan yang pernah dilakukannya akan menjadi sirna. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah di dalam firman-Nya:

لَهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Sungguh jika kamu berbuat syirik pasti akan terhapuslah seluruh amalmu dan kamu benar-benar akan termasuk golongan orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)

Lalu apalah artinya shalat kita, puasa kita, shadaqah kita, kalau itu semua harus terhapus dan lenyap gara-gara sebuah dosa. Nila setitik bisa merusak susu sebelanga. Itulah kata para pujangga. Sungguh mengerikan. Amal yang sudah dikerjakan selama bertahun-tahun hilang. Lenyap sudah harapan untuk bisa mengecap kenikmatan surga. Surga, yang di dalam Al-Qur’an diceritakan berisi berbagai kesenangan tiada tara. Di sana ada sungai susu, madu murni dan buah-buahan yang tidak pernah habis sebagai balasan bagi orang-orang yang beriman. Kalau surga tidak dapat, lantas tempat apa lagi yang tersisa. Neraka, duhai sungguh mengerikan dan menyakitkan tinggal di sana. Mendengar ceritanya saja kita sudah ngeri, apalagi harus merasakan panas siksanya. Siksa yang tak berkesudahan bagi orang-orang yang berbuat syirik dan terjatuh dalam kekafiran. Semoga Allah menyelamatkan diri pribadi dan keluarga kita dari api neraka.

Kami Diajari untuk Meninggalkan Bid’ah

Ayahku, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barang siapa mengerjakan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami maka amalan itu tertolak” (HR. Muslim). Para Ustadz menerangkan kepada kami bahwa bid’ah adalah tata cara beribadah yang tidak diajarkan oleh Nabi. Bid’ah adalah perbuatan yang sangat tercela. Karena seolah-olah orang yang melakukannya menganggap ajaran Islam ini belum sempurna, sehingga perlu untuk diberikan ajaran tambahan hasil pemikiran mereka. Seorang sahabat Nabi pernah mengatakan, “Semua tata cara ibadah yang tidak pernah dikerjakan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka janganlah kamu beribadah dengannya.”

Kata para ulama, suatu amal ibadah tidak akan diterima kecuali memenuhi dua syarat:

Syarat pertama, harus ikhlas, tidak boleh dicampuri syirik atau riya’ (cari muka).

Syarat kedua, harus sesuai tuntunan, tidak boleh dengan cara yang bid’ah.

Oleh karena itu di samping kita harus membersihkan hati kita dari syirik maka kita juga harus membersihkan tubuh kita dari tata cara beribadah yang tidak ada tuntunannya. Inilah ibadah yang akan diterima oleh Allah, yang ikhlas dan sesuai tuntunan. Inilah rahasia yang terkandung dalam dua kalimat syahadat.

Asyhadu anlaa ilaaha illAllah artinya kita hanya beribadah hanya kepada Allah. Dan wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah artinya kita beribadah kepada Allah hanya dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Suatu saat ada seorang warga di kampung sebelah yang meninggal dunia. Dia seorang muslim. Maka orang-orang pun datang berkunjung untuk bertakziah, menshalati jenazahnya dan menguburkannya. Alangkah bagusnya kaum muslimin yang telah menuruti perintah Nabi untuk merawat jenazah saudaranya, memandikan dan menguburkannya. Semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan. Namun sayang sekali, mereka juga melakukan ajaran ibadah baru yang tidak diajarkan. Ya, memang sudah jadi tradisi di daerah kita kalau ada orang mati maka sesudahnya diadakan kenduri, membaca surat Yasin untuk dihadiahkan pahalanya kepada mayat, berkumpul-kumpul di rumah keluarga yang ditinggal mati dan makan-makan di sana. Tradisi ini sudah lama berjalan. Sampai-sampai kalau ada seorang warga kampung yang tidak mengadakan acara seperti ini maka seketika itu pula bermunculan komentar miring dari tetangga. Belum lagi kalau yang bicara adalah pak kaum yang sudah langganan memimpin acara kenduri itu.

Hal ini sudah pernah terjadi di kampung kita. Ketika itu katanya ada seorang ibu shalihah meninggal dan berpesan kepada suami dan anak-anaknya supaya tidak perlu mengadakan kenduri dan semacamnya, karena menurut beliau hal itu tidak ada ajarannya dalam agama (baca: bid’ah). Wajar beliau bersikap demikian. Karena beliau memang dikenal sebagai seorang ibu yang rajin menghadiri pengajian dan termasuk penggeraknya. Apalagi suaminya juga seorang guru di sekolah Muhammadiyah, sebuah organisasi Islam yang konon katanya sangat getol memerangi TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat). Tapi apa yang terjadi setelah pesan itu dilaksanakan oleh keluarganya. Ternyata pak kaum sempat mengatakan dengan nada tidak suka, “Mbok ya kalau tidak kuat mendoakan sendirian ya ngundang tetangga.” Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang anak ibu shalihah itu. Tetapi karena keluarganya tetap berpegang teguh dengan ajaran Nabi maka acara semacam itu pun tetap tidak diadakan. Aduh, beratnya. Mungkin demikian komentar sebagian orang. Bagaimana tidak, mereka harus berjuang melawan tradisi yang sudah mengakar dan membudaya. Tradisi yang diwariskan dari kakek dan nenek kepada cucu dan cicitnya. Tapi apa mau di kata, kebenaran harus dibela dan aturan Nabi tidak boleh diremehkan. Inilah contoh muslim yang berpegang teguh dengan pesan Nabinya.

Pada suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan nasihat kepada para sahabat sampai membuat mata mereka menangis dan hati mereka bergetar. Salah satu isi nasihat beliau adalah, “Sesungguhnya orang di antara kalian yang hidup sesudahku pasti akan melihat banyak perselisihan (penyimpangan). Maka berpeganglah dengan sunnah (ajaran)ku dan ajaran khulafa’ ur rasyidin yang berpetunjuk. Gigitlah ajaran itu dengan gigi-gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan. Karena setiap perkara baru yang diada-adakan (di dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Kita memang harus taat pada Nabi dan tidak boleh durhaka kepadanya. Karena orang yang durhaka kepada Nabi sama dengan durhaka kepada Allah yang telah mengutusnya. Kalau Nabi saja bilang setiap bid’ah itu sesat masak kita mau bilang ada bid’ah yang baik? Memangnya kita lebih pintar daripada Nabi? Begitulah penjelasan salah seorang peserta pengajian. “Bukankah yang biasa memimpin kenduri itu pak kaum, tentunya beliau lebih paham agama daripada kita-kita ini?” Si peserta pengajian itu pun mengatakan, “Memangnya yang tahu semua permasalahan agama hanya pak kaum? Apa orang selain pak kaum tidak boleh bicara agama padahal dia punya dasar kuat dari Al-Qur’an dan Hadits? Apalagi para ulama sebelumnya juga sudah menjelaskan dalam kitab-kitab mereka kalau perbuatan seperti ini tidak boleh dilakukan.”

Imam Nawawi mengatakan, “Adapun bacaan Quran (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyhur dalam mazhab Syafi’i, tidak dapat sampai kepada mayat yang dikirimi… Sedang dalilnya Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, yaitu firman Allah (yang artinya), “Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri.” dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amal usahanya, kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak saleh (laki/perempuan) yang berdo’a untuknya (mayit).” (An Nawawi, Syarah Muslim, juz 1 hal. 90, dicuplik dari Tahlilan dan Selamatan menurut Mazhab Syafi’i, hal. 9)

Imam Asy Syafi’i sendiri tidak menyukai adanya berkumpul di rumah ahli mayit ini, seperti yang beliau kemukakan dalam kitab Al Umm, sebagai berikut, “Aku tidak menyukai mat’am, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru.” (Asy Syafi’i, Al Umm, juz 1, hal. 248, dicuplik dari Tahlilan dan Selamatan menurut Mazhab Syafi’i, hal. 18). Lalu apa yang harus dilakukan? Imam Syafi’i mengatakan, “Dan aku menyukai, bagi jiran (tetangga) mayit atau sanak kerabatnya, membuatkan makanan untuk keluarga mayit, pada hari datangnya musibah itu dan malamnya, yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, dan amalan yang demikian itu adalah sunnah (tuntunan Nabi).” (Asy Syafi’i, Al Umm, juz 1, hal. 247, dicuplik dari Tahlilan dan Selamatan menurut Mazhab Syafi’i, hal. 27) “Ini lho mazhabnya Imam Syafi’i”, kata seorang peserta pengajian.

Akhir cerita…

Sedih, itulah perasaan yang tersimpan di hati kami, para peserta pengajian yang rata-rata masih muda dan berstatus mahasiswa. Apa pasalnya? Kita sekarang sudah mengerti ajaran yang benar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tauhid, tetapi ternyata masih banyak juga masyarakat kita yang terjerumus di dalamnya, bahkan acara-acara semacam itu dijadikan objek wisata dan jadi berita hangat di media masa. Kalau diberitakan lalu dijelaskan kesalahannya, alhamdulillah. Akan tetapi kenyataannya lain. Berita yang ada justru membuat seolah-olah acara berbau kesyirikan seperti ngalap berkah, ruwatan, larungan dan lain sebagainya sebagai acara tradisi yang patut dilestarikan!! Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun.

Hati siapa yang tidak menangis apabila hak Allah diinjak-injak. Allah yang sudah menciptakan kita, memberikan rezeki kepada kita. Allah lah yang menurunkan hujan sehingga para petani bergembira. Allah lah yang menahan badai samudra sehingga para nelayan bisa berlayar mencari ikan untuk menghidupi sanak keluarga. Allah lah yang menumbuhkan biji-bijian sehingga para petani dan masyarakat luas bisa menikmati hasilnya. Allah lah yang mengeluarkan minyak dari perut bumi sehingga perusahaan pengeboran bisa berjaya. Allah lah yang menyediakan bahan bakar minyak bumi sehingga motor-motor pun bisa berlari kencang di jalan raya. Allah lah yang menyediakan sumber daya alam sehingga perusahaan listrik negara bisa menyebarkan energi listrik ke segenap pelosok bumi Nusantara. Allah lah yang menciptakan matahari sehingga para petani bisa menjemur gabah dan para mahasiswa pun bisa menjemur cuciannya hingga kering tanpa harus mengeluarkan sepeser biaya. Allah jugalah yang menyediakan oksigen di udara sehingga seluruh umat manusia bisa menghirup dan hidup karenanya. Allah lah yang menciptakan mata air di dalam bumi sehingga pompa-pompa air pun bisa menyerap dan mengangkatnya ke rumah-rumah penduduk dunia. Allahu akbar!! Lalu kok tega-teganya mereka melakukan syirik, bukankah itu artinya mereka telah menghina Allah ta’ala.

Belum lagi bid’ah. Penyakit yang satu ini memang susah untuk diobati. Bagaimana mau diobati, lha wong orang yang tertimpa penyakit ini merasa dirinya sehat-sehat saja. Kalau mau diobati malah marah-marah dan menuduh dokternya dengan tuduhan yang bukan-bukan. Apalagi yang kurang coba? Oleh sebab itulah, mereka ini ingin mengajak seluruh umat Islam yang ada untuk bahu membahu mengembalikan keindahan masyarakat Islam yang sudah lama memudar ini. Marilah kita terapkan Islam dalam hidup dan kehidupan kita. Dalam keyakinan, ucapan dan amalan kita. Baik yang terkait dengan urusan ibadah, hukum, tata cara berpakaian, bergaul, berumah tangga, bertetangga dan lain sebagainya. Marilah kita berjuang memerangi syirik, bid’ah dan maksiat. Lalu kita tegakkan tauhid, kita hidupkan sunnah dan kita laksanakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah (riba), kalian pegang ekor-ekor sapi, dan kalian telah puas dengan bercocok tanam sehingga kalian pun meninggalkan jihad (membela agama dengan ilmu atau senjata). Maka pasti Allah timpakan kehinaan kepada kalian. Allah tidak akan mencabut kehinaan itu sampai kalian mau kembali kepada ajaran agama kalian.” (Silsilah Ahadits Shahihah no. 11) WAllahu a’lam. Inilah sekelumit cerita, bingkisan untuk ayah dan bunda. Semoga Allah memasukkan kita ke dalam surga-Nya dengan tauhid dan ketaatan kita, amin.

Allahummaghfirlana wa li waalidainaa, warham huma kamaa rabbayanaa shighaara.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi, keluarga dan sahabatnya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Ditulis oleh seorang anak yang telah banyak merepotkan ayah dan ibunya, Dhuha 27 Muharram 1427.

***

Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi
Murojaah: Ustadz Afifi Abdul Wadud
Artikel www.muslim.or.id

06 Januari 2009

Bagi yang Masih Memiliki Hati Nurani

TANGGAPAN TERHADAP PENOLAKAN RUU ANTIPORNOGRAFI

Pembaca yang budiman, sesungguhnya apabila kita cermati perkembangan kondisi masyarakat negeri ini di era globalisasi sekarang, perasaan prihatin dan iba tentu seolah tak kunjung henti menghinggapi hati. Kemajuan teknologi yang pada mulanya merupakan kenikmatan yang Allah berikan kepada umat manusia, kini telah berubah menjadi bumerang dan senjata penghancur moral generasi. Musibah ini semakin bertambah parah dan menjadi-jadi tatkala perusakan moral ini telah dibungkus dengan kedok seni dan kebebasan berkreasi.

Tengoklah beberapa tahun yang silam sebelum menjamurnya VCD dan perluasan jaringan internet ke berbagai lini. Saat itu kita mungkin masih menemukan segerombolan pemuda ingusan yang begitu doyan membaca tabloid yang menampilkan gambar-gambar tak sopan. Namun, saat ini fenomena semacam itu mulai jarang kita temui. Bukan karena hobi maksiat dan kesukaan mengumbar nafsu telah hilang, namun hobi itu kini telah menemukan sarana baru yang lebih mengerikan dan lebih mengikis keimanan. VCD dan tontonan-tontonan tak sopan telah tersaji di tempat-tempat umum. Begitu pula televisi, pada hari ini mayoritas tayangan televisi telah menjadi ramuan racun yang siap membunuh hati nurani penontonnya secara perlahan dan mematikan.

Perintah Menundukkan Pandangan

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah kepada lelaki yang beriman agar menundukkan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan-kemaluan mereka. Itulah yang lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa pun yang kalian kerjakan. Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman agar menundukkan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan-kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak darinya, hendaknya mereka juga menutupkan kain kerudung mereka di atas dada-dada
mereka…” (QS. An-Nuur: 30-31)

Ayat yang mulia ini menunjukkan perintah Allah kepada para lelaki dan perempuan yang beriman agar menundukkan pandangan dari lawan jenis yang bukan mahramnya. Kalaupun melihatnya secara tidak sengaja maka hendaknya segera memalingkan pandangannya. Jarir bin Abdullah Al-Bajali pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan tiba-tiba/tak sengaja, “Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandangan mataku.” (HR. Muslim)

Menundukkan pandangan merupakan salah satu adab bagi orang yang berada di tepi jalan. Dari Abu Sa’id, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah duduk-duduk di pinggir jalan!” Mereka (para sahabat) mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami tidak bisa meninggalkan majelis tempat kami berkumpul yang kami biasa berbincang-bincang di sana.” Maka Nabi mengatakan, “Kalau kalian tidak bisa, maka tunaikanlah hak jalan.” Mereka pun bertanya, “Apakah haknya jalan wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Menahan pandangan, tidak mengganggu, memerintahkan yang ma’ruf, dan melarang yang mungkar.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menjaga pandangan akan memelihara hati dari kotoran. Oleh sebab itu Allah menyatakan bahwa menundukkan pandangan itu, “Itulah yang lebih suci bagi mereka.” Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan, “Hal itu akan lebih membersihkan hati mereka dan menjaga kesucian agama mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Keindahan Syari’at Islam

Apabila kita mencermati ayat di atas dengan baik, maka di dalamnya banyak terkandung hikmah yang menunjukkan betapa indah syari’at Islam ini. Diantaranya adalah:
Allah mewajibkan bagi laki-laki dan perempuan yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka.
Kaum perempuan wajib menutupi perhiasan mereka dan menutupi tempat-tempat meletakkan perhiasan itu, selain bagian tertentu yang memang sulit untuk disembunyikan karena adanya kepentingan (lihat tiga faidah ini dalam Aisar At-Tafasir)
Yang dimaksud menundukkan pandangan bagi lelaki adalah agar mereka menahan pandangan dari memandangi aurat, perempuan asing/bukan mahram, atau amrad (lelaki muda yang belum tumbuh jenggotnya atau memiliki wajah seperti perempuan) karena dikhawatirkan timbul fitnah/godaan nafsu akibat memandangi mereka.
Barangsiapa yang menjaga pandangan dan kemaluannya dari hal-hal yang diharamkan maka dia akan mendapatkan kesucian dan terbebas dari kotoran-kotoran perbuatan keji yang biasa melekat pada para pecandu maksiat (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman)

Buruknya Gaya Hidup ala Barat

Setelah kita memahami keindahan syari’at Islam yang menjaga kehormatan laki-laki dan perempuan dengan adanya syari’at menundukkan pandangan dan mengenakan jilbab, maka kita akan bisa dengan tegas menyatakan betapa buruknya gaya hidup ala barat (baca: ala binatang) yang banyak diobral di media cetak maupun elektronik (layar kaca) yaitu dengan menampilkan para perempuan dengan dandanan dan pakaian yang tidak menutup aurat.

Sehingga akan bisa kita simpulkan bahwa gaya hidup semacam itu merupakan:
Pembangkangan terhadap perintah Allah, padahal Allah adalah satu-satunya Dzat yang menciptakan dan memberikan rezeki kepada kita, yang menghidupkan dan mematikan kita. Alangkah besar kedurhakaan para penyeru kebebasan perempuan untuk mengobral aurat di layar-layar kaca kepada Rabb mereka!
Kaum perempuan yang ikut serta menjadi fotomodel atau artis film/sinentron/iklan yang jelas-jelas ikut memamerkan aurat di hadapan khalayak telah jelas-jelas mengabaikan kewajiban mereka untuk menutup aurat. Alangkah jelek perbuatan mereka, mereka rela menjual harga diri dan kehormatan mereka demi mendapatkan sepeser dunia dan kenikmatan yang semu dan pasti sirna!
Orang-orang yang ikut serta menyebarkan gambar-gambar atau film-film semacam ini atau bahkan menjadikannya sebagai profesi dan hobinya pada hakikatnya secara tidak langsung telah menuduh Allah tidak bijaksana dan berlaku aniaya kepada kaum perempuan, atau bahkan mereka menganggap Allah dan Rasul-Nya mengekang kebebasan hak asasi kaum perempuan! Aduhai, siapakah yang lebih tahu: Allah yang menciptakan mereka, ataukah mereka yang tidak mengerti tentang hikmah-Nya?!
Orang-orang yang tergoda dan terseret dalam gaya hidup semacam itu telah menodai kesucian dan kehormatan dirinya. Padahal dengan menjaga kemaluan dan menundukkan pandangan itulah sebenarnya kesucian dan kehormatan mereka akan terjaga. Maka kalau mereka mengatakan, “Yang penting kan hati. Asal hati kita baik, niat kita baik, dalam rangka mensyukuri kenikmatan yang Allah berikan kepada perempuan kan tidak mengapa?” Jawabnya adalah di dalam ayat ini Allah menegaskan kebersihan hati itu akan didapatkan dengan menjaga pandangan dan kemaluan, maka kita tanyakan kepada mereka, “Bagaimanakah caranya kita bisa menjaga pandangan dan kemaluan jika kaum perempuan justru dengan sukarela mengobral aurat di media-media massa?!” Aduhai, siapakah di antara kita yang telah kehilangan hati nuraninya? Bagaimana mungkin akan kita bela pornografi dan pornoaksi dengan alasan hak asasi dan kebebasan berkreasi dan karya seni?! Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan…

Saudara-saudaraku, bulan puasa telah mengajari kita untuk meninggalkan hal-hal yang pada asalnya boleh dinikmati di hari-hari biasa. Makan, minum, dan berhubungan suami-isteri bagi yang berhak melakukannya. Sekarang tatkala bulan Ramadhan akan habis, akankah kita melupakan hikmah yang agung ini dari jantung
kehidupan kita; bahwa kita meninggalkan itu semua karena Allah ta’ala memerintahkan kita, walaupun kita menyukainya. Maka bagaimana lagi jika sesuatu yang kita sukai adalah hal-hal yang haram dan mendatangkan murka Rabb pencipta dan penguasa jagad raya? Akankah kita terus melestarikannya dengan alasan demi membela hak asasi manusia menghormati kreatifitas seni dan seabrek alasan-alasan kosong lainnya?!

Wahai manusia-manusia yang masih memiliki hati nurani; tidakkah kalian ingat bahwa kalian dulu bukan apa-apa. Kalian dulu belum terlahir di alam dunia ini. Namun lihatlah; tatkala kalian telah menikmati berbagai rezeki dari-Nya dan kalian pun menjadi dewasa, bertubuh kuat, berharta dan berkedudukan maka dengan ringannya kalian durhakai Rabb kalian; yang setiap hari mencurahkan nikmat-Nya yang tak terhitung kepada kalian? Akankah kalian akan bertahan di atas kebodohan semacam ini… Bertaubatlah kepada Rabb kalian, sebelum datangnya hari ditampakkannya kesalahan-kesalahan, hari yang dahsyat dan mengguncangakan alam semesta… hari di mana penyesalan dan seluruh kekayaan dunia tidak lagi berharga di sisi-Nya. Marilah memohon ampunan dan taufik dari-Nya agar hati kita kembali bersih dan bisa menghadap-Nya nanti dalam suasana suka cita. Laa haula wa laa quwwata illa billaah!

Selesai ditulis di Yogyakarta dengan dorongan seorang sahabat yang mulia

Jum’at, 26 Ramadhan 1429 H
Seorang hamba yang membutuhkan Rabbnya

Ari Wahyudi
Semoga Allah mengampuninya

***

Artikel www.muslim.or.id