06 Januari 2009

Bagi yang Masih Memiliki Hati Nurani

TANGGAPAN TERHADAP PENOLAKAN RUU ANTIPORNOGRAFI

Pembaca yang budiman, sesungguhnya apabila kita cermati perkembangan kondisi masyarakat negeri ini di era globalisasi sekarang, perasaan prihatin dan iba tentu seolah tak kunjung henti menghinggapi hati. Kemajuan teknologi yang pada mulanya merupakan kenikmatan yang Allah berikan kepada umat manusia, kini telah berubah menjadi bumerang dan senjata penghancur moral generasi. Musibah ini semakin bertambah parah dan menjadi-jadi tatkala perusakan moral ini telah dibungkus dengan kedok seni dan kebebasan berkreasi.

Tengoklah beberapa tahun yang silam sebelum menjamurnya VCD dan perluasan jaringan internet ke berbagai lini. Saat itu kita mungkin masih menemukan segerombolan pemuda ingusan yang begitu doyan membaca tabloid yang menampilkan gambar-gambar tak sopan. Namun, saat ini fenomena semacam itu mulai jarang kita temui. Bukan karena hobi maksiat dan kesukaan mengumbar nafsu telah hilang, namun hobi itu kini telah menemukan sarana baru yang lebih mengerikan dan lebih mengikis keimanan. VCD dan tontonan-tontonan tak sopan telah tersaji di tempat-tempat umum. Begitu pula televisi, pada hari ini mayoritas tayangan televisi telah menjadi ramuan racun yang siap membunuh hati nurani penontonnya secara perlahan dan mematikan.

Perintah Menundukkan Pandangan

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah kepada lelaki yang beriman agar menundukkan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan-kemaluan mereka. Itulah yang lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa pun yang kalian kerjakan. Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman agar menundukkan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan-kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak darinya, hendaknya mereka juga menutupkan kain kerudung mereka di atas dada-dada
mereka…” (QS. An-Nuur: 30-31)

Ayat yang mulia ini menunjukkan perintah Allah kepada para lelaki dan perempuan yang beriman agar menundukkan pandangan dari lawan jenis yang bukan mahramnya. Kalaupun melihatnya secara tidak sengaja maka hendaknya segera memalingkan pandangannya. Jarir bin Abdullah Al-Bajali pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan tiba-tiba/tak sengaja, “Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandangan mataku.” (HR. Muslim)

Menundukkan pandangan merupakan salah satu adab bagi orang yang berada di tepi jalan. Dari Abu Sa’id, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah duduk-duduk di pinggir jalan!” Mereka (para sahabat) mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami tidak bisa meninggalkan majelis tempat kami berkumpul yang kami biasa berbincang-bincang di sana.” Maka Nabi mengatakan, “Kalau kalian tidak bisa, maka tunaikanlah hak jalan.” Mereka pun bertanya, “Apakah haknya jalan wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Menahan pandangan, tidak mengganggu, memerintahkan yang ma’ruf, dan melarang yang mungkar.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menjaga pandangan akan memelihara hati dari kotoran. Oleh sebab itu Allah menyatakan bahwa menundukkan pandangan itu, “Itulah yang lebih suci bagi mereka.” Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan, “Hal itu akan lebih membersihkan hati mereka dan menjaga kesucian agama mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Keindahan Syari’at Islam

Apabila kita mencermati ayat di atas dengan baik, maka di dalamnya banyak terkandung hikmah yang menunjukkan betapa indah syari’at Islam ini. Diantaranya adalah:
Allah mewajibkan bagi laki-laki dan perempuan yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka.
Kaum perempuan wajib menutupi perhiasan mereka dan menutupi tempat-tempat meletakkan perhiasan itu, selain bagian tertentu yang memang sulit untuk disembunyikan karena adanya kepentingan (lihat tiga faidah ini dalam Aisar At-Tafasir)
Yang dimaksud menundukkan pandangan bagi lelaki adalah agar mereka menahan pandangan dari memandangi aurat, perempuan asing/bukan mahram, atau amrad (lelaki muda yang belum tumbuh jenggotnya atau memiliki wajah seperti perempuan) karena dikhawatirkan timbul fitnah/godaan nafsu akibat memandangi mereka.
Barangsiapa yang menjaga pandangan dan kemaluannya dari hal-hal yang diharamkan maka dia akan mendapatkan kesucian dan terbebas dari kotoran-kotoran perbuatan keji yang biasa melekat pada para pecandu maksiat (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman)

Buruknya Gaya Hidup ala Barat

Setelah kita memahami keindahan syari’at Islam yang menjaga kehormatan laki-laki dan perempuan dengan adanya syari’at menundukkan pandangan dan mengenakan jilbab, maka kita akan bisa dengan tegas menyatakan betapa buruknya gaya hidup ala barat (baca: ala binatang) yang banyak diobral di media cetak maupun elektronik (layar kaca) yaitu dengan menampilkan para perempuan dengan dandanan dan pakaian yang tidak menutup aurat.

Sehingga akan bisa kita simpulkan bahwa gaya hidup semacam itu merupakan:
Pembangkangan terhadap perintah Allah, padahal Allah adalah satu-satunya Dzat yang menciptakan dan memberikan rezeki kepada kita, yang menghidupkan dan mematikan kita. Alangkah besar kedurhakaan para penyeru kebebasan perempuan untuk mengobral aurat di layar-layar kaca kepada Rabb mereka!
Kaum perempuan yang ikut serta menjadi fotomodel atau artis film/sinentron/iklan yang jelas-jelas ikut memamerkan aurat di hadapan khalayak telah jelas-jelas mengabaikan kewajiban mereka untuk menutup aurat. Alangkah jelek perbuatan mereka, mereka rela menjual harga diri dan kehormatan mereka demi mendapatkan sepeser dunia dan kenikmatan yang semu dan pasti sirna!
Orang-orang yang ikut serta menyebarkan gambar-gambar atau film-film semacam ini atau bahkan menjadikannya sebagai profesi dan hobinya pada hakikatnya secara tidak langsung telah menuduh Allah tidak bijaksana dan berlaku aniaya kepada kaum perempuan, atau bahkan mereka menganggap Allah dan Rasul-Nya mengekang kebebasan hak asasi kaum perempuan! Aduhai, siapakah yang lebih tahu: Allah yang menciptakan mereka, ataukah mereka yang tidak mengerti tentang hikmah-Nya?!
Orang-orang yang tergoda dan terseret dalam gaya hidup semacam itu telah menodai kesucian dan kehormatan dirinya. Padahal dengan menjaga kemaluan dan menundukkan pandangan itulah sebenarnya kesucian dan kehormatan mereka akan terjaga. Maka kalau mereka mengatakan, “Yang penting kan hati. Asal hati kita baik, niat kita baik, dalam rangka mensyukuri kenikmatan yang Allah berikan kepada perempuan kan tidak mengapa?” Jawabnya adalah di dalam ayat ini Allah menegaskan kebersihan hati itu akan didapatkan dengan menjaga pandangan dan kemaluan, maka kita tanyakan kepada mereka, “Bagaimanakah caranya kita bisa menjaga pandangan dan kemaluan jika kaum perempuan justru dengan sukarela mengobral aurat di media-media massa?!” Aduhai, siapakah di antara kita yang telah kehilangan hati nuraninya? Bagaimana mungkin akan kita bela pornografi dan pornoaksi dengan alasan hak asasi dan kebebasan berkreasi dan karya seni?! Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan…

Saudara-saudaraku, bulan puasa telah mengajari kita untuk meninggalkan hal-hal yang pada asalnya boleh dinikmati di hari-hari biasa. Makan, minum, dan berhubungan suami-isteri bagi yang berhak melakukannya. Sekarang tatkala bulan Ramadhan akan habis, akankah kita melupakan hikmah yang agung ini dari jantung
kehidupan kita; bahwa kita meninggalkan itu semua karena Allah ta’ala memerintahkan kita, walaupun kita menyukainya. Maka bagaimana lagi jika sesuatu yang kita sukai adalah hal-hal yang haram dan mendatangkan murka Rabb pencipta dan penguasa jagad raya? Akankah kita terus melestarikannya dengan alasan demi membela hak asasi manusia menghormati kreatifitas seni dan seabrek alasan-alasan kosong lainnya?!

Wahai manusia-manusia yang masih memiliki hati nurani; tidakkah kalian ingat bahwa kalian dulu bukan apa-apa. Kalian dulu belum terlahir di alam dunia ini. Namun lihatlah; tatkala kalian telah menikmati berbagai rezeki dari-Nya dan kalian pun menjadi dewasa, bertubuh kuat, berharta dan berkedudukan maka dengan ringannya kalian durhakai Rabb kalian; yang setiap hari mencurahkan nikmat-Nya yang tak terhitung kepada kalian? Akankah kalian akan bertahan di atas kebodohan semacam ini… Bertaubatlah kepada Rabb kalian, sebelum datangnya hari ditampakkannya kesalahan-kesalahan, hari yang dahsyat dan mengguncangakan alam semesta… hari di mana penyesalan dan seluruh kekayaan dunia tidak lagi berharga di sisi-Nya. Marilah memohon ampunan dan taufik dari-Nya agar hati kita kembali bersih dan bisa menghadap-Nya nanti dalam suasana suka cita. Laa haula wa laa quwwata illa billaah!

Selesai ditulis di Yogyakarta dengan dorongan seorang sahabat yang mulia

Jum’at, 26 Ramadhan 1429 H
Seorang hamba yang membutuhkan Rabbnya

Ari Wahyudi
Semoga Allah mengampuninya

***

Artikel www.muslim.or.id

Awas, Musuh Dalam Selimut!

Pembaca yang budiman, di masa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam masih hidup ada dua golongan musuh Islam yaitu orang kafir dan orang munafiq. Di antara kedua golongan ini orang-orang munafiq adalah yang paling berbahaya bagi ummat Islam, karena mereka mengaku Islam namun pada hakekatnya menghancurkan Islam dari dalam. Dan hal ini senantiasa terjadi di sepanjang jaman, begitu pula di jaman kita sekarang ini bahkan di negeri yang kita tinggali ini.

Alloh Ta’ala memerintahkan kepada Nabi dan orang-orang yang beriman supaya berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq. Alloh berfirman, “Wahai Nabi berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafiq dan bersikap keraslah pada mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (At Taubah: 73)

JIL Mengganyang Islam

Salah satu musuh yang kini tengah dihadapi ummat Islam adalah ajaran sesat yang dibawa oleh Jaringan Islam Liberal/JIL. Sehingga kerancuan yang mereka tebarkan perlu dibantah, apalagi orang-orang yang membawa pemikiran sesat ini adalah tokoh-tokoh yang digelari cendekiawan, kyai dan intelektual. Sebenarnya pernyataan mereka terlalu menyakitkan untuk ditulis dan disebarluaskan, namun demi tegaknya kebenaran maka dalam kesempatan ini akan kami bawakan beberapa contoh kesesatan pemikiran mereka yang dengannya pembaca akan mengetahui betapa rusaknya akidah Islam Liberal ini.

Orang JIL Tidak Paham Tauhid

Nurcholis Majid menafsirkan Laa ilaaha illalloh dengan arti “Tiada tuhan (t kecil) kecuali Tuhan (T besar)”. Padahal Rosululloh, para sahabat dan para ulama dari jaman ke zaman meyakini bahwa makna Laa ilaaha ilalloh adalah “Tiada sesembahan yang benar kecuali Alloh”. Dalilnya adalah firman Alloh, “Demikian itulah kuasa Alloh Dialah sesembahan yang haq adapun sesembahan-sesembahan yang mereka seru selain Alloh adalah (sesembahan) yang batil…” (Al Hajj: 62). Nah, satu contoh ini sebenarnya sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa ajaran JIL adalah sesat karena menyimpang dari petunjuk Rosululloh dan para sahabat. Walaupun dalam mempromosikan kesesatannya mereka menggunakan label Islam, tapi sesungguhnya Islam cuci tangan dari apa yang mereka katakan.

Orang JIL Tidak Paham Kebenaran

Ulil Abshar (seorang tokoh JIL -ed) mengatakan bahwa semua agama sama, semuanya menuju jalan kebenaran, jadi Islam bukan yang paling benar katanya. Padahal Al Qur’an dan As Sunnah menegaskan bahwa Islamlah satu-satunya agama yang benar, yaitu Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Alloh Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Alloh hanyalah Islam.” (Ali Imron: 19). Nabi juga bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah ada seorang pun yang mendengar kenabianku, baik Yahudi maupun Nasrani kemudian mati dalam keadaan tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa kecuali pastilah dia termasuk di antara para penghuni neraka.” (HR. Muslim). Kalau Alloh dan Rosul-Nya sudah menyatakan demikian, maka anda pun bisa menjawab apakah yang dikatakan Ulil ini kebenaran ataukah bukan?

Orang JIL Tidak Paham Islam

Para tokoh JIL menafsirkan Islam hanya sebagai sikap pasrah kepada Tuhan. Maksud mereka siapapun dia apapun agamanya selama dia pasrah kepada Tuhan maka dia adalah orang Islam. Allohu Akbar! Ini adalah Jahil Murokkab (bodoh kuadrat), sudah salah, merasa sok tahu lagi. Cobalah kita simak jawaban Nabi ketika Jibril bertanya tentang Islam. Beliau menjawab, “Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau menegakkan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Romadhon dan berhaji ke baitulloh jika engkau sanggup mengadakan perjalanan ke sana.” (HR. Muslim). Siapakah yang lebih tahu tentang Islam; Nabi ataukah orang-orang JIL?

Orang JIL Menghina Syari’at Islam

Ulil Abshor mengatakan bahwa larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam sudah tidak relevan lagi. Padahal Alloh Ta’ala telah berfirman, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah: 3). Kalau Alloh yang maha tahu sudah menyatakan bahwa Islam sudah sempurna sedangkan Ulil mengatakan bahwa ada aturan Islam yang tidak relevan -tidak cocok dengan perkembangan jaman- maka kita justeru bertanya kepadanya: Siapakah yang lebih tahu, JIL ataukah Alloh?!

Orang Bodoh Kok Diikuti?

Demikianlah beberapa contoh kesesatan pemikiran JIL. Kita telah melihat bersama betapa bodohnya pemikiran semacam ini. Kalaulah makna tauhid, makna Islam adalah sebagaimana yang dikatakan oleh mereka (JIL) niscaya Abu Jahal, Abu Lahab dan orang-orang kafir Quraisy yang dimusuhi Nabi menjadi orang yang pertama-tama masuk Islam. Karena mereka meyakini bahwasanya Alloh-lah pencipta, pengatur, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, yang mampu menyelamatkan mereka ketika tertimpa bencana, sehingga ketika mereka diombang-ambingkan oleh ombak lautan mereka mengikhlashkan do’a hanya kepada Alloh, memasrahkan urusan mereka kepada-Nya.

Namun dengan keyakinan semacam ini mereka tetap saja menolak ajakan Nabi untuk mengucapkan Laa ilaaha illalloh. Bahkan mereka memerangi Rosululloh, menyiksa para sahabat dan membunuh sebagian di antara mereka dengan cara yang amat keji. Inilah bukti bahwa orang-orang JIL benar-benar tidak paham Al Qur’an, tidak paham As Sunnah, bahkan tidak paham sejarah!!

Himbauan

Melalui tulisan ini kami menghimbau kepada segenap kaum muslimin agar menjauhi buletin, majalah, website, siaran TV atau radio yang digunakan oleh JIL dalam menyebarkan kesesatan mereka dan bagi yang memiliki kewenangan hendaklah memusnahkannya. Karena Alloh Ta’ala telah memerintahkan, “Wahai Nabi berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafiq dan bersikap keraslah pada mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (At Taubah: 73). Dan ketahuilah bahwasanya tidak ada yang bisa membentengi kaum muslimin dari kebinasaan kecuali dengan kembali berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah serta pemahaman para salafush sholih (sahabat dan murid-murid mereka). Dan Rosululloh telah menegaskan bahwasanya ilmu itu hanya bisa diraih dengan cara belajar (lihat Fathul Bari). Semoga tulisan yang singkat ini bisa meruntuhkan kerancuan-kerancuan yang ditebarkan oleh musuh-musuh Alloh dan Rosul-Nya.

Imam Al Auza’i berpesan, “Wajib atas kalian mengikuti jejak salaf (para sahabat) walaupun banyak manusia yang menentangmu. Dan waspadalah dari pemikiran-pemikiran manusia meskipun mereka menghiasinya dengan perkataan-perkataan yang indah di hadapanmu”. Hanya kepada Alloh-lah kita memohon perlindungan. Wallohu a’lam.

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Awas Hadits-Hadits Palsu!

Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah dua sumber hukum Islam yang menjadi pegangan hidup umat Islam. Allah sendiri yang akan menjaga al-Qur’an dari pengubahan, penambahan atau pengurangan, walaupun hanya satu huruf atau satu harakat saja. Begitu pula dengan As Sunnah (al-Hadits) sebagai penjaga makna atau penjelas al-Qur’an juga akan terjaga. Maka tidak ada seorangpun di ujung dunia yang membuat-buat hadits dusta kecuali akan terkuak kepalsuannya.

Bagaimana Hadits Bisa Terjaga?

Hadits terjaga dengan adanya sanad hadits. Dengan sanad itulah para ulama ahli hadits bisa membedakan manakah hadits shahih, hadits dhaif (lemah) dan hadits maudhu’ (palsu). Sanad adalah susunan orang-orang yang meriwayatkan hadits. Para periwayat tersebut diperiksa satu persatu secara ketat tentang riwayat hidupnya, apakah ia seorang jujur ataukah pendusta, hafalannya kuat ataukah lemah dan pemeriksaan ketat lainnya. Jika seluruh rawi dalam sanad hadits lulus pemeriksaan maka hadits tersebut berstatus shahih yang wajib kita jadikan pegangan hidup. Dan dengan demikian tersingkaplah hadits-hadits palsu bikinan para pendusta yang sengaja membuatnya untuk merusak agama Islam. Hanya orang-orang jahil saja yang bisa tertipu oleh mereka.

Bagaimana Kita Menyikapi Hadits?

Sebagaimana kita bersikap ilmiah dalam perkara-perkara dunia maka kita juga harus bersikap ilmiahlah dalam perkara agama. Jangan mengambil sebuah hukum atau syariat yang bersumber dari hadits lemah apalagi hadits palsu. Atau ikut-ikutan menyebarkan hadits-hadits lemah dan palsu tanpa menjelaskan status hadits itu. Bahkan ada yang dengan mudahnya mengatakan: “Hadits shahih!” padahal hadits tersebut palsu. subhanallah!! Perbuatan seperti ini telah diancam dalam sebuah hadits yang mulia, “Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka.” (HR. Bukhari juz 1 dan Muslim juz 1). Hadits ini statusnya shahih dan mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalan). Betapa banyak hadits lemah dan palsu yang beredar di kalangan umat Islam karena mereka tidak selektif dalam mendengar dan mengambil hadits, akibatnya adalah munculnya masalah dan penyimpangan dalam kehidupan bermasyarakat, beribadah, berakhlak dan berakidah.

Maraknya Hadits Dhoif dan Maudhu’

Di negeri kita ini banyak sekali hadits-hadits lemah dan palsu yang laris di telinga masyarakat. Di samping ketidaktahuan tentang ilmu hadits, banyaknya para da’i yang menggembor-gemborkan hadits-hadits tersebut memberikan andil dalam menyemarakkannya. Salah satu contohnya ialah hadits, “Carilah ilmu sekalipun ke negri Cina.” Hadits ini adalah hadits mungkar dan batil, tidak ada asal usulnya serta tidak ada jalan yang menguatkannya. Demikianlah para imam ahli hadits telah mengomentari hadits ini seperti Imam Bukhari, Al Uqaili, Abu Hatim, Yahya bin ma’in, Ibnu Hibban dan Ibnu Jauzi. Selain dari sisi sanad yang lemah, maka hadits inipun juga memiki cacat dalam maknanya. Sebab negeri maju ketika itu adalah romawi dan persi, bagaimana Rasulullah hendak memerintahkan sahabatnya untuk belajar ke negeri China yang bukan termasuk negeri adidaya? Dan bagaimana pula Rasulullah menyuruh sahabatnya belajar pergi ke negeri kafir yang jelas-jelas akan membahayakan akidahnya? Wallahul musta’an!

Hadits lain yang laris manis adalah hadits, “Perselisihan umatku adalah rahmat.” Hadits tersebut adalah hadits yang tidak ada asal usulnya dan tidak dikenal oleh ahli hadits, artinya mereka tidak pernah mendapati hadits ini baik dalam status shahih, dhaif ataukah maudhu’. Bahkan Imam Ibnu Hazm berkata, “Ini adalah perkataan yang paling rusak. Sebab jika perselisihan adalah rahmat, maka konsekuensinya persatuan adalah azab. Ini tidak mungkin dikatakan seorang muslim. Karena tidak akan berkumpul antara persatuan dan perselisihan serta antara rahmat dan azab.”

Contoh sebuah hadits palsu yang terkenal adalah hadits, “Barang siapa yang shalat seratus rakaat pada malam nishfu sya’ban dari bulan sya’ban, ia baca pada setiap rakaat sesudah Al-Fatihah: Qulhu 10X, maka tidak ada seorangpun yang shalat seperti itu melainkan Allah kabulkan semua hajat yang ia minta pada malam itu ….”. Hadits ini palsu (Lihat Al-Maudhu’at karya Imam Ibnul Jauzi) dan menjadi sumber bid’ah dalam peringatan malam nishfu sya’ban, memberatkan umat dengan sesuatu yang tidak pernah diajarkan Rasulullah. Dan beliau sendiri tidak pernah mengucapkan perkataan ini!

***

Penulis: Abu Ilyas R. Handanawirya
Artikel www.muslim.or.id

Awas Faktor Pemicu Kesyirikan!

Setan sebagai musuh utama anak Adam tidak akan henti-hentinya mendakwahkan kesesatan dan menjauhkan manusia dari jalan Alloh sejauh-jauhnya. Alloh berfirman yang artinya, “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6). Maka tidak selayaknya bagi makhluk yang berakal untuk lalai dari makar dan tipu daya mereka seperti bisikan, was-was, godaan, kerancuan dan menampakkan kebatilan dalam bentuk kebenaran.

Jurus Penyesatan Iblis

Ketahuilah, bahwa Iblis telah memasang berbagai jenis perangkap untuk menggiring manusia menuju neraka. Perangkap setan yang paling berbahaya ialah perangkap kesyirikan. Dari jalan inilah manusia di muka bumi ini banyak disesatkan. Alloh berfirman, “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Alloh, maka pasti Alloh mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (Al Maidah: 72)

Berikut ini beberapa jalan yang akan menuntun seseorang ke dalam lembah kesyirikan. Wal ‘iyadzu billah.

Berlebih-Lebihan Terhadap Orang-Orang Shalih

Sikap ekstrim dengan mengagungkan orang shalih adalah fenomena yang amat lazim kita temui, baik dulu maupun sekarang. Awalnya manusia sejak terusirnya nabi Adam ke bumi adalah masih dalam keadaan Islam. Ibnu Abbas berkata, “Dalam rentang waktu di antara nabi adam dan Nuh itu ada sepuluh generasi. Semuanya masih dalam keadaan islam.” (HR. Hakim) Setelah itu menyebarlah kesyirikan di bumi untuk kali pertamanya dengan sebab sikap ekstrim tersebut. Maka Alloh mengutus Nuh ‘alaihis salam yang menyeru untuk beribadah hanya kepada-Nya dan melarang peribadahan kepada selain-Nya. Tetapi kaum nabi Nuh justru membantahnya. “Dan mereka berkata: ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr’.” (Nuh: 23)

Inilah nama-nama orang sholih yang ada pada kaum nabi Nuh ‘alaihis salam. Tatkala mereka meninggal, setan membisikkan kepada kaum ini untuk membuat gambar dan patung orang-orang shalih tersebut pada tempat ibadah mereka kemudian menamainya sesuai nama-nama mereka. Mereka beralasan dengan melihat dan mengenang patung serta gambar tersebut, mereka dapat meningkatkan semangat ibadah kepada Alloh. Dalam fase ini mereka belum menyembahnya, sampai kemudian generasi ini meninggal dan bergantilah generasi selanjutnya serta orang tidak lagi mengenal ilmu tauhid, akhirnya patung-patung tersebut disembah.

Sesungguhnya setan mengajak untuk bersikap ekstrim terhadap orang-orang shalih dan mengajak untuk beribadadah kepada kubur. Mereka membisikkan ke dalam hati manusia bahwa sesungguhnya membuat bangunan di atas kubur dan beri’tikaf di dekatnya adalah salah satu tanda cinta terhadap para nabi dan orang shalih. Begitupula berdoa di samping kubur itu mustajab (akan terkabul). Setelah itu setan memindah mereka dari tingkatan ini menuju berdoa dan bersumpah kepada Alloh dengan nama penghuni kubur tesebut. Tatkala hal ini tertanam dalam benak mereka, setan menggiring mereka untuk berdoa dan meminta kepada penghuni kubur serta meminta syafaat kepada selain Alloh, mengambil kuburan sebagai berhala atau tempat bergantung, thowaf (mengelilingi) di kuburan, menciuminya dan menyembelih hewan di sisinya. Setelah tahap ini, setan kemudian menggiring mereka menuju tingkat keempat, yaitu menyeru kepada manusia untuk beribadah kepada kubur dan menjadikannya sebagai tempat perayaan. Setelah itu membisikkan pada mereka bahwa siapa saja yang melarang hal-hal di atas, berarti mencela para nabi dan orang shalih yang merupakan orang-orang mulia (Lihat Nurut Tauhid wa Zhulumatus Syirk karya Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthany).

Membangun Masjid di Atas Kubur dan Membuat Gambar di Dalamnya

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengingatkankan bahaya membangun masjid di atas kubur dan menjadikan kubur sebagai masjid (baca: tempat untuk beribadah), karena ibadah kepada Alloh di dekat kubur orang-orang shalih merupakan hal yang dapat menjerumuskan ke dalam peribadatan kepada mereka. Tatkala Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang gereja yang ada di Habasyah (Ethiopia) yang di dalamnya terdapat gambar-gambar, beliau berkata, “Sesungguhnya mereka itu ketika seorang shalih di kalangan mereka meninggal, mereka membangun masjid di atas kuburnya, kemudian membuat gambar di dalamnya. Merekalah sejelek-jelek makhluk di sisi Alloh pada hari kiamat.” (HR. Bukhori, Muslim). Bahkan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya tatkala di akhir hayatnya. Beliau berkata, “Alloh melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid”. Aisyah berkata, “Beliau memperingatkan dari perbuatan mereka.” (HR. Bukhori, Muslim). Beliau juga bersabda sebelum wafat, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kubur para nabi dan orang shalih sebagai masjid (baca: tempat beribadah), maka sesungguhnya aku melarang kalian dari hal tersebut.” (HR. Muslim)

Menjadikan Kubur Sebagai Tempat Beribadah

Rosululloh mengingatkan umatnya agar tidak menjadikan kubur beliau sebagai berhala yang disembah selain Alloh, terlebih lagi apabila kubur itu kubur selain beliau. Beliau berkata, “Ya Alloh janganlah Kau jadikan kuburku sebagi berhala yang disembah. Sungguh besar kemurkaan Alloh terhadap orang yang menjadikan kubur nabi mereka sebagai masjid.” (HR. Malik, Abu Nu’aim)

Bandingkan dengan realita kaum muslimin sekarang ini. Mereka lebih senang untuk membaca Al Quran di kuburan, akan tetapi di rumahnya sendiri kosong dari bacaan Al Quran. Bukankah Rosululloh bersabda, “Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan…” (HR. Abu Daud, Ahmad)

Menerangi Kubur (Memberinya Lentera, Lilin dll) dan Membangun Kubah di Atasnya

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya bahaya menerangi kubur. Hal ini karena mendirikan bangunan dan memberi penerangan di atas kubur, mengapur, memberi tulisan dan menjadikannya sebagai masjid adalah termasuk perkara-perkara yang dapat menjerumuskan ke dalam kesyirikan. Ibnu Abbas radhiyallohu ‘anhuma berkata, “Rosululloh melaknat para wanita yang banyak berziarah ke kubur, orang-orang yang menjadikannya sebagai masjid dan orang yang memberi penerangan di atasnya.” (HR. An Nasai, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Rosululloh membersihkan bumi ini dari perkara-perkara yang menjerumuskan ke dalam kesyirikan. Beliau pun telah mengutus beberapa sahabatnya untuk merobohkan kubah-kubah tinggi yang ada di atas kubur dan menghancurkan gambar-gambar ataupun. Abu Al Hayyaj Al Asady berkata, Ali bin Abi Tholib berkata kepadaku, “Maukah engkau kuutus membawa tugas seperti Rosululloh telah mengutusku, yaitu janganlah engkau biarkan gambar atau patung kecuali engkau hancurkan, dan janganlah engkau biarkan kubur yang tinggi kecuali engkau ratakan.” (HR. Muslim). Wallohu A’lam bish Showab.

***

Penulis: Abu Yusuf Johan Lil Muttaqin
Artikel www.muslim.or.id

Agar Ibadah Diterima di Sisi Alloh

Alloh yang Maha Bijaksana tentulah tidak menciptakan sesuatu kecuali dengan hikmah yang agung. Alloh berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56). Mungkin kita sudah hafal tujuan tersebut karena sering kita dengar, tapi pernahkah terlintas di benak kita apakah ibadah kita itu diterima ataukah tidak? Maka, tidak ada seorang pun yang dapat menjamin hal ini, sehingga sudah seharusnya bagi tiap mukmin untuk beramal dengan senantiasa berharap dan cemas. Berharap agar ia mendapat ridho Alloh serta janji-janji yang sudah ditetapkan Alloh dalam Al Qur’an dan cemas kalau-kalau ibadahnya tidak diterima. Dan janganlah ia berdecak kagum atas amal yang ia lakukan dan merasa bahwa ibadahnya pasti diterima.

Ingatlah firman Alloh, “Katakanlah: ‘Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 103, 104). Siapakah yang lebih rugi dari orang semacam ini? yang telah beramal dengan susah payah sewaktu masih hidup di dunia tapi ternyata sia-sia dan tidak diterima oleh Alloh Ta’ala.

Apakah Makna Ibadah?

Ibadah secara bahasa bermakna merendahkan diri dan tunduk. Sedang secara istilah, ulama banyak memberikan makna. Namun makna yang paling lengkap adalah seperti yang didefinisikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu: Suatu kata yang meliputi segala perbuatan dan perkataan; zhohir maupun batin yang dicintai dan diridhoi oleh Alloh Ta’ala. Dengan demikian ibadah terbagi menjadi tiga, yaitu: ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah anggota badan.

Syarat Diterimanya Amal Ibadah

Ketahuilah, semua amalan dapat dikatakan sebagai ibadah yang diterima bila memenuhi dua syarat, yaitu Ikhlash dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan Nabi shollallohu ‘alaihi wassalam). Kedua syarat ini terangkum dalam firman Alloh, “…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Al Kahfi: 110). Beramal sholih maksudnya yaitu melaksanakan ibadah sesuai dengan tata cara yang telah diajarkan oleh Nabi, dan tidak mempersekutukan dalam ibadah maksudnya mengikhlashkan ibadah hanya untuk Alloh semata.

Hal ini diisyaratkan pula dalam firmanNya, “(Tidak demikian) dan bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Alloh, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Robbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqoroh: 112). Menyerahkan diri kepada Alloh berarti mengikhlashkan seluruh ibadah hanya kepada Alloh saja. Berbuat kebajikan (ihsan) berarti mengikuti syari’at Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Syarat pertama (ikhlash) merupakan konsekuensi dari syahadat pertama (persaksian tiada sesembahan yang benar kecuali Alloh semata). Sebab persaksian ini menuntut kita untuk mengikhlashkan semua ibadah kita hanya untuk Alloh saja. Sedang syarat kedua (mutaba’ah) adalah konsekuensi dari syahadat kedua (persaksian Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sebagai hamba dan utusan-Nya).

Ikhlash dalam Ibadah

Seluruh ibadah yang kita lakukan harus ditujukan untuk Alloh semata. Walaupun seseorang beribadah siang dan malam, jika tidak ikhlash (dilandasi tauhid) maka sia-sialah amal tersebut. Alloh berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan agar mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)

Maka sungguh beruntunglah seseorang yang selalu mengawasi hatinya, kemanakah maksud hati tatkala ia beribadah, apakah untuk Alloh, ataukah untuk selain Alloh. Perhatikanlah jenis amal-amal berikut:

Amalan riya’ semata-mata, yaitu amalan itu dilakukan hanya supaya dilihat makhluk atau karena tujuan duniawi. Amalan seperti ini hangus, tidak bernilai sama sekali dan pelakunya pantas mendapat murka Alloh. Amalan yang ditujukan kepada Alloh dan disertai riya’ dari sejak awalnya, maka nash-nash yang shohih menunjukkan amalan seperti ini bathil dan terhapus. Amalan yang ditujukan bagi Alloh dan disertai niat lain selain riya’. Seperti jihad yang diniatkan untuk Alloh dan karena menghendaki harta rampasan perang. Amalan seperti ini berkurang pahalanya dan tidak sampai batal dan tidak sampai terhapus amalnya.

Amalan yang awalnya ditujukan untuk Alloh kemudian terbesit riya’ di tengah-tengah, maka amalan ini terbagi menjadi dua, jika riya’ tersebut terbersit sebentar dan segera dihalau maka riya’ tersebut tidak berpengaruh apa-apa. Namun jika riya’ tersebut selalu menyertai amalannya maka pendapat terkuat diantara ulama salaf menyatakan bahwa amalannya tidak batal dan dinilai niat awalnya sebagaimana pendapat Hasan Al Bashri. Namun dia tetap berdosa karena riya’nya tersebut dan tambahan amal (perpanjangan amal karena riya’) terhapus. Sedang amal yang ikhlash karena Alloh kemudian mendapat pujian sehingga dia senang dengan pujian tersebut, maka hal ini tidak berpengaruh apa-apa terhadap amalnya.

Beribadah Hanya Dengan Syari’at Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam

Ketahuilah, ibadah bukanlah produk akal atau perasaan manusia. Ibadah merupakan sesuatu yang diridhoi Alloh, dan engkau tidak akan mengetahui apa yang diridhoi Alloh kecuali setelah Alloh kabarkan atau dijelaskan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Dan seluruh kebaikan telah diajarkan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, tidak tersisa sedikit pun. Tidak ada dalam kamus ibadah sesorang melaksanakan sesuatu karena menganggap ini baik, padahal Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencontohkan. Sehingga tatkala ditanya, “Mengapa engkau melakukan ini?” lalu ia menjawab, “Bukankah ini sesuatu yang baik? Mengapa engkau melarang aku dari melakukan yang baik?” Saudaraku, bukan akal dan perasaanmu yang menjadi hakim baik buruknya. Apakah engkau merasa lebih taqwa dan sholih ketimbang Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Ingatlah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang melakukan satu amalan (ibadah) yang tiada dasarnya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim)

Perhatikanlah, ibadah kita harus mencocoki tatacara Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hal:

Sebabnya. Ibadah kepada Alloh dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima. Contoh: Ada orang melakukan sholat tahajjud pada malam dua puluh tujuh bulan Rojab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi’roj Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Sholat tahajjud adalah ibadah tetapi karena dikaitkan dengan sebab yang tidak ditetapkan syari’at maka sholat karena sebab tersebut hukumnya bid’ah.

Jenisnya. Artinya ibadah harus sesuai dengan syariat dalam jenisnya, contoh seseorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi syari’at dalam jenisnya. Jenis binatang yang boleh dijadikan kurban adalah unta, sapi dan kambing.

Kadar (bilangannya). Kalau ada seseorang yang sengaja menambah bilangan raka’at sholat zhuhur menjadi lima roka’at, maka sholatnya bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syariat dalam jumlah bilangan roka’atnya. Dari sini kita tahu kesalahan orang-orang yang berdzikir dengan menenentukan jumlah bacaan tersebut sampai bilangan tertentu, baik dalam hitungan ribuan, ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali capek dan murka Alloh.

Kaifiyah (caranya). Seandainya ada seseorang berwudhu dengan cara membasuh tangan dan muka saja, maka wudhunya tidak sah, karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syariat.

Waktunya. Apabila ada orang menyembelih binatang kurban Idul Adha pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, karena syari’at menentukan penyembelihan pada hari raya dan hari tasyriq saja.

Tempatnya. Andaikan ada orang beri’tikaf di tempat selain Masjid, maka tidak sah i’tikafnya. Sebab tempat i’tikaf hanyalah di Masjid.

Wahai saudaraku… Marilah kita wujudkan tuntutan dua kalimat syahadat ini, yaitu kita menjadikan ibadah yang kita lakukan semata-mata hanya untuk Alloh dan kita beribadah hanya dengan syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam setiap tarikan nafas dan detik-detik kehidupan kita, semoga dengan demikian kita semua menjadi hamba-Nya yang bersyukur, bertaqwa dan diridhoi-Nya. Wallohu a’lam bish showaab.

***

Penulis: Bambang Abu Abdirrohman Al Atsary Al Bayaty
Artikel www.muslim.or.id

Adab Membaca Al-Quran

Al Qur’anul Karim adalah firman Alloh yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun. Al Qur’an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Ta’ala. Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Ketika membaca Al-Qur’an, maka seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an:

1. Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan tenang.

Dalam membaca Al-Qur’an seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Namun, diperbolehkan apabila dia membaca dalam keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata, “Orang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama.” (At-Tibyan, hal. 58-59)

2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca.

Rosululloh bersabda, “Siapa saja yang membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami.” (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)

Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rosululloh telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam kan Al-Qur’an setiap satu minggu (7 hari) (HR. Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu.

3. Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’, dengan menangis, karena sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan.

Alloh Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya yang shalih, “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra’: 109). Namun demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura menangis dengan tangisan yang dibuat-buat.

4. Membaguskan suara ketika membacanya.

Sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain dijelaskan, “Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maksud hadits ini adalah membaca Al-Qur’an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang tidak perlu melenggok-lenggokkan suara di luar kemampuannya.

5. Membaca Al-Qur’an dimulai dengan isti’adzah.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan bila kamu akan membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)

Membaca Al-Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih secara khusyu’.

Rosululloh shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda, “Ingatlah bahwasanya setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang lain pada saat membaca (Al-Qur’an).” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim). Wallohu a’lam.

***

Penulis: Abu Hudzaifah Yusuf
Artikel www.muslim.or.id

10 Nasihat Ibnul Qayyim Untuk Bersabar Agar Tidak Terjerumus Dalam Lembah Maksiat

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi dan Rasul paling mulia. Amma ba’du.

Berikut ini sepuluh nasihat Ibnul Qayyim rahimahullah untuk menggapai kesabaran diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat:

Pertama, hendaknya hamba menyadari betapa buruk, hina dan rendah perbuatan maksiat. Dan hendaknya dia memahami bahwa Allah mengharamkannya serta melarangnya dalam rangka menjaga hamba dari terjerumus dalam perkara-perkara yang keji dan rendah sebagaimana penjagaan seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya demi menjaga anaknya agar tidak terkena sesuatu yang membahayakannya.

Kedua, merasa malu kepada Allah… Karena sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari pandangan Allah yang selalu mengawasi dirinya dan menyadari betapa tinggi kedudukan Allah di matanya. Dan apabila dia menyadari bahwa perbuatannya dilihat dan didengar Allah tentu saja dia akan merasa malu apabila dia melakukan hal-hal yang dapat membuat murka Rabbnya… Rasa malu itu akan menyebabkan terbukanya mata hati yang akan membuat Anda bisa melihat seolah-olah Anda sedang berada di hadapan Allah…

Ketiga, senantiasa menjaga nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu dan mengingat-ingat perbuatan baik-Nya kepadamu.

Apabila engkau berlimpah nikmat

maka jagalah, karena maksiat

akan membuat nikmat hilang dan lenyap

Barang siapa yang tidak mau bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah kepadanya maka dia akan disiksa dengan nikmat itu sendiri.

Keempat, merasa takut kepada Allah dan khawatir tertimpa hukuman-Nya

Kelima, mencintai Allah… karena seorang kekasih tentu akan menaati sosok yang dikasihinya… Sesungguhnya maksiat itu muncul diakibatkan oleh lemahnya rasa cinta.

Keenam, menjaga kemuliaan dan kesucian diri serta memelihara kehormatan dan kebaikannya… Sebab perkara-perkara inilah yang akan bisa membuat dirinya merasa mulia dan rela meninggalkan berbagai perbuatan maksiat…

Ketujuh, memiliki kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri… karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati…

Kedelapan, memupus buaian angan-angan yang tidak berguna. Dan hendaknya setiap insan menyadari bahwa dia tidak akan tinggal selamanya di alam dunia. Dan mestinya dia sadar kalau dirinya hanyalah sebagaimana tamu yang singgah di sana, dia akan segera berpindah darinya. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang akan mendorong dirinya untuk semakin menambah berat tanggungan dosanya, karena dosa-dosa itu jelas akan membahayakan dirinya dan sama sekali tidak akan memberikan manfaat apa-apa.

Kesembilan, hendaknya menjauhi sikap berlebihan dalam hal makan, minum dan berpakaian. Karena sesungguhnya besarnya dorongan untuk berbuat maksiat hanyalah muncul dari akibat berlebihan dalam perkara-perkara tadi. Dan di antara sebab terbesar yang menimbulkan bahaya bagi diri seorang hamba adalah… waktu senggang dan lapang yang dia miliki… karena jiwa manusia itu tidak akan pernah mau duduk diam tanpa kegiatan… sehingga apabila dia tidak disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat maka tentulah dia akan disibukkan dengan hal-hal yang berbahaya baginya.

Kesepuluh, sebab terakhir adalah sebab yang merangkum sebab-sebab di atas… yaitu kekokohan pohon keimanan yang tertanam kuat di dalam hati… Maka kesabaran hamba untuk menahan diri dari perbuatan maksiat itu sangat tergantung dengan kekuatan imannya. Setiap kali imannya kokoh maka kesabarannya pun akan kuat… dan apabila imannya melemah maka sabarnya pun melemah… Dan barang siapa yang menyangka bahwa dia akan sanggup meninggalkan berbagai macam penyimpangan dan perbuatan maksiat tanpa dibekali keimanan yang kokoh maka sungguh dia telah keliru.

***

Diterjemahkan dari artikel berjudul ‘Asyru Nashaa’ih libnil Qayyim li Shabri ‘anil Ma’shiyah, www.ar.islamhouse.com

Alih Bahasa: Abu Muslih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

3 Pokok Ajaran Islam

Sejauh Mana Pemahaman Kita?

Tak terasa, sudah sejak lama sekali (mungkin sudah 20-an tahun atau bahkan lebih) kita menjadi sebagai seorang muslim. Nikmat yang besar ini patutlah kita syukuri, karena banyak diantara manusia yang tidak memperoleh nikmat ini. Dan nikmat inilah yang sangat menentukan bahagia atau sengsaranya kita di hari akhir nanti.


Pada kesempatan ini, tidaklah kami ingin menanyakan ‘Sejak kapan kita masuk islam?’ atau ‘Bagaimana ceritanya kita masuk islam?’ karena jawaban pertanyaan ini bukanlah suatu yang paling mendasar dan paling penting. Namun pertanyaan paling penting yang harus kita renungkan dan kita jawab pada setiap diri kita adalah: ‘Sudah sejauh manakah kita telah memahami dan mengamalkan ajaran kita ini?’ Pertanyaan inilah yang paling penting yang harus direnungkan dan dijawab, karena jawaban pertanyaan inilah yang nantinya sangat menentukan kualitas keislaman dan ketakwaan seseorang.

Alloh berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati di dalam kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al Ashr: 1-3)

Alloh berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Alloh ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (Al Hujurot: 13)

Pokok Ajaran Islam

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa ajaran Islam ini adalah ajaran yang paling sempurna, karena memang semuanya ada dalam Islam, mulai dari urusan buang air besar sampai urusan negara, Islam telah memberikan petunjuk di dalamnya. Alloh berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)

Salman Al-Farisi berkata,“Telah berkata kepada kami orang-orang musyrikin, ‘Sesungguhnya Nabi kamu telah mengajarkan kepada kamu segala sesuatu sampai buang air besar!’ Jawab Salman, ‘benar!” (Hadits Shohih riwayat Muslim). Semua ini menunjukkan sempurnanya agama Islam dan luasnya petunjuk yang tercakup di dalamnya, yang tidaklah seseorang itu butuh kepada petunjuk selainnya, baik itu teori demokrasi, filsafat atau lainnya; ataupun ucapan Plato, Aristoteles atau siapa pun juga.

Meskipun begitu luasnya petunjuk Islam, pada dasarnya pokok ajarannya hanyalah kembali pada tiga hal yaitu tauhid, taat dan baro’ah/berlepas diri. Inilah inti ajaran para Nabi dan Rosul yang diutus oleh Alloh kepada ummat manusia. Maka barangsiapa yang tidak melaksanakan ketiga hal ini pada hakikatnya dia bukanlah pengikut dakwah para Nabi. Keadaan orang semacam ini tidak ubahnya seperti orang yang digambarkan oleh seorang penyair,

Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila,
namun laila tidak mengakui perkataan mereka

Berserah Diri Kepada Alloh Dengan Merealisasikan Tauhid

Yaitu kerendahan diri dan tunduk kepada Alloh dengan tauhid, yakni mengesakan Alloh dalam setiap peribadahan kita. Tidak boleh menujukan satu saja dari jenis ibadah kita kepada selain-Nya. Karena memang hanya Dia yang berhak untuk diibadahi. Dia lah yang telah menciptakan kita, memberi rizki kita dan mengatur alam semesta ini, pantaskah kita tujukan ibadah kita kepada selain-Nya, yang tidak berkuasa dan berperan sedikitpun pada diri kita?

Semua yang disembah selain Alloh tidak mampu memberikan pertolongan bahkan terhadap diri mereka sendiri sekali pun. Alloh berfirman, “Apakah mereka mempersekutukan dengan berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedang berhala-berhala itu sendiri yang diciptakan. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada para penyembahnya, bahkan kepada diri meraka sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (Al -A’rof: 191-192)

Semua yang disembah selain Alloh tidak memiliki sedikitpun kekuasaan di alam semesta ini. Alloh berfirman, “Dan orang-orang yang kamu seru selain Alloh tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu, dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13-14)

Tunduk dan Patuh Kepada Alloh Dengan Sepenuh Ketaatan

Pokok Islam yang kedua adalah adanya ketundukan dan kepatuhan yang mutlak kepada Alloh. Dan inilah sebenarnya yang merupakan bukti kebenaran pengakuan imannya. Penyerahan dan perendahan semata tidak cukup apabila tidak disertai ketundukan terhadap perintah-perintah Alloh dan Rosul-Nya dan menjauhi apa-apa yang dilarang, semata-mata hanya karena taat kepada Alloh dan hanya mengharap wajah-Nya semata, berharap dengan balasan yang ada di sisi-Nya serta takut akan adzab-Nya.

Kita tidak dibiarkan mengatakan sudah beriman lantas tidak ada ujian yang membuktikan kebenaran pengakuan tersebut. Alloh berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” ( Al-Ankabut: 2-3)

Orang yang beriman tidak boleh memiliki pilihan lain apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan keputusan. Alloh berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula perempuan yang beriman, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al Ahzab: 36)

Orang yang beriman tidak membantah ketetapan Alloh dan Rosul-Nya akan tetapi mereka mentaatinya lahir maupun batin. Alloh berfirman, “Sesungguhnya jawaban orang-orang beriman, bila mereka diseru kepada Alloh dan Rosul-Nya agar rosul menghukum di antara mereka ialah ucapan. ‘Kami mendengar, dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An Nur: 51)

Memusuhi dan Membenci Syirik dan Pelakunya

Seorang muslim yang tunduk dan patuh terhadap perintah dan larangan Alloh, maka konsekuensi dari benarnya keimanannya maka ia juga harus berlepas diri dan membenci perbuatan syirik dan pelakunya. Karena ia belum dikatakan beriman dengan sebenar-benarnya sebelum ia mencintai apa yang dicintai Alloh dan membenci apa yang dibenci Alloh. Padahal syirik adalah sesuatu yang paling dibenci oleh Alloh. Karena syirik adalah dosa yang paling besar, kedzaliman yang paling dzalim dan sikap kurang ajar yang paling bejat terhadap Alloh, padahal Allohlah Robb yang telah menciptakan, memelihara dan mencurahkan kasih sayang-Nya kepada kita semua.

Alloh telah memberikan teladan kepada bagi kita yakni pada diri Nabiyulloh Ibrohim ‘alaihis salam agar berlepas diri dan memusuhi para pelaku syirik dan kesyirikan. Alloh berfirman, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Alloh, kami mengingkari kamu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Alloh saja.’” (Al-Mumtahanah: 4)

Jadi ajaran Nabi Ibrohim ‘alaihis salam bukan mengajak kepada persatuan agama-agama sebagaimana yang didakwakan oleh tokoh-tokoh Islam Liberal, akan tetapi dakwah beliau ialah memerangi syirik dan para pemujanya. Inilah millah Ibrohim yang lurus! Demikian pula Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengobarkan peperangan terhadap segala bentuk kesyirikan dan memusuhi para pemujanya. Inilah tiga pokok ajaran Islam yang harus kita ketahui dan pahami bersama untuk dapat menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban yang yakin dan pasti. Dan di atas ketiga pokok inilah aqidah dan syari’ah ini dibangun. Maka kita mohon kepada Alloh semoga Alloh memberikan taufiq kepada kita untuk dapat memahami agama ini, serta diteguhkan di atas meniti din ini. Wallohu a’lam…

***

Penulis: Abu Hudzaifah Yusuf bin Munasir
Artikel www.muslim.or.id

04 Januari 2009

Di Tengah Iftiraqul Ummah (Perpecahan Umat)

Mengapa umat Islam berpecah? Bukankah Islam agama yang haq? Bagaimana kita menyikapi perpecahan ummat? Apa yang harus kita lakukan? Berikut ulasannya....

“Beruntunglah orang-orang asing yang mereka memperbaiki apa-apa yang telah dirusak oleh manusia sesudahku dari sunnahku.” (HR At-Tirmidzi) 

Iftiraqul ummah adalah takdir Allah 
Iftiraqul ummah (perpecahan umat) adalah sebuah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala yang pasti terjadi. Sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa hadits yang mutawatir: 
“Terpecah umat Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan, dan terpecah umat Nashrani menjadi tujuh puluh dua golongan, dan akan terpecah umat ini menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (1) 

Bukti kebenaran akan hadits ini, telah mulai tampak ketika munculnya pemahaman sesat akidah Saba’iyah (akidah Khawarij dan Syi’ah). Inilah hal pertama yang didengar kaum muslimin, dan didengar pula oleh para shahabat tentang akidah iftiraq dan benih-benih firqah di kalangan muslimin yang ditiupkan oleh para pemeluknya. Dan benih-benih iftiraq ini terus tumbuh dan berkembang hingga munculnya firqah-firqah Qadariyah, Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan lain sebagainya. Dan sungguh, hal yang demikian ini terus menerus terjadi hingga masa sekarang. Hal ini semakin tampak nyata dengan lahirnya harakah-harakah dengan membawa fikrah masing-masing. 

Mensikapi iftiraqul ummah 
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mentakdirkan terjadinya iftiraqul ummah telah memberikan bimbingan agar umat tidak tenggelam dalam fitnah ini. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: 
“ … Barangsiapa di antara kalian berumur panjang, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka tetaplah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. …”(2) 

1. Maka sikap kita yang pertama adalah tetap bepegangan pada sunnah Rasulullah saw dan para khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk. 

Maka dalam memahami dien ini kita harus senantiasa meruju’ kepada apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw dengan pemahaman para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in. Walaupun pemahaman itu berbeda dan ditentang oleh kebanyakan manusia, maka tetaplah berpegangan kepadanya. Sungguh Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa Islam ini pada awal kedatangannya adalah asing dan pada suatu saat nanti akan kembali dianggap asing (diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya: (145) dari Abu Hurairah), sebuah keadaan dimana orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah seakan menggenggam bara api, barangsiapa beramal pada hari-hari semacam ini maka pahalanya seperti pahala amalan 50 orang shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits yang masyhur: 
“Akan suatu pada manusia suatu jaman, orang yang sabar (istiqamah) di atas agamanya pada jaman ini seperti memegang bara api.”(3) 

“Sesungguhnya di belakang kalian ada suatu hari, kesabaran di dalamnya seperti memegang bara api, orang yang beramal pada hari-hari semacam ini pahalanya seperti 50 orang yang beramal seperti amalnya kalian.”(4) 

Berkata Ath-Thibi tentang hadits ini: “Maknanya sebagaimana tidak mampunya seorang pemegang bara api untuk sabar karena menghanguskan tangannya seperti itu pula keadaan seorang yang beragama, pada hari itu, tidak mampu untuk tetap di atas agamanya karena banyaknya pelaku maksiat dan pelaku maksiat, tersebarnya kafasikan dan lemahnya iman.” 

Berkata pula Al Qari: “Yang jelas bahwa makna hadits adalah sebagaimana tidak mungkin bagi seseorang untuk memegang bara api kecuali dengan kesabaran yang besar dan menanggung banyak kesusahan. Demikian pula di jaman itu tidak akan tergambar dalam benak seseorang untuk menjaga agamanya dan cahaya imannya kecuali dengan kesabaran yang besar.” 

Akan tetapi, walaupun demikian keadaannya, Allah yang Maha Berkuasa atas segala-galanya tidak akan membiarkan umat ini musnah dari muka bumi. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
“Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang terang-terangan di atas kebenaran, tidak mencelakakan mereka orang yang mencemoohnya sampai datang urusan Allah dan mereka dalam keadaan demikian”(5) 

2. Hal kedua yang harus kita lakukan ketika fitnah ini terjadi adalah tinggalkan semua golongan (firqah) yang ada, sebagaimana diriwayatkan dari Hudzaifah: 
“Bahwasanya ketika manusia bertanya kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan, karena khawatir akan menimpa diriku, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya kami dahulu dalam keadaan jahiliyah dan kejelekan, maka Allah datangkan kepada kami kebaikan, maka apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau menjawab, “Ya”. Maka aku berkata, “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan?” Beliau menjawab, “Ya, tapi padanya ada dakhan (kotoran)”. Aku berkata, “Apa dakhannya?”. Beliau menjawab, “Kaum yang mengerjakan sunnah bukan dengan sunnahku, dan memberi petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau kenali mereka tapi engkau ingkari”. Maka aku berkata, “Apakah setelah kebaikan tersebut akan muncul kejelekan lagi?” Beliau menjawab, “Ya, adanya dai-dai yang berada di atas pintu jahannam, barangsiapa yang memenuhi panggilannya akan dilemparkan ke neraka jahannam”. Aku berkata, “Wahai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam terangkan ciri-ciri mereka”. Beliau berkata, “Mereka adalah suatu kaum yang kulitnya sama dengan kulit kita, bahasanya juga sama dengan bahasa kita”. Aku berkata, “Apa yang engkau perintahkan jika aku mengalami jaman seperti itu?” Beliau berkata, “Berpeganglah dengan jama/ah muslimin dan imam mereka”. Aku bertanya, “Bagaimana jika tidak ada jama’ah dan imam?” Beliau menjawab, “Tinggalkan semua firqah, meskipun kamu harus menggigit akar pohon hingga kamu mati dan kamu dalam keadaan seperti itu .”(6) 

3.Hal ketiga adalah senantiasa menyeru manusia kepada al haqq, saling bertawashaw bil haqq wa tawashaw bish-shabr (saling menasihati dengan kebenaran dan saling menasihati dengan kesabaran). Inilah kewajiban yang tetap ada pada diri kaum muslimin kepada sesama mereka sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla: Dan saling nasihat-menasihatilah engkau dengan kebenaran dan dengan kesabaran.’ (QS Al ‘Ashr: 4) 

Dalam mensikapi perbedaan pemahaman yang ada, maka kewajiban ini tetap wajib diamalkan. Bukan seperti pendapat sebagian orang, “Kita bekerjasama terhadap apa-apa yang kita sepakati dan kita saling tasamuh (toleransi) terhadap perbedaan yang ada.” Perkataan ini benar jika perbedaan yang ada adalah hal-hal yang memang merupakan ikhtilaf tanawu’ yang bisa ditolerir, sedangkan untuk perkara yang telah menjadi ijma’ aimmah ahlus sunnah wal jama’ah dan kaum muslimin, maka tidak ada lagi kata tasamuh. Mereka harus diberi peringatan, ditegakkan hujjah kepada mereka (iqamatul hujjah) dan jika tetap tidak mau mengikuti pemahaman yang lurus, maka mereka wajib diberi sangsi dan umat harus ditahdzir akan kesesatan yang ada pada mereka serta bahayanya bergaul dengan mereka. Sebagaimana Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu telah memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat. 

Sedangkan jika perbedaan pemahaman yang ada seputar masalah fiqih atau pun hal-hal yang lain sifatnya ijtihadiyah, maka wajib di antara muslimin untuk mempertemukan perbedaan itu dan berusaha semaksimal mungkin untuk mencari yang lebih dekat kepada al-haqq. Jika upaya ini tetap tidak bisa mempersatukan pemahaman yang ada, maka hendaknya masing-masing memahami menurut keyakinan masing-masing tanpa saling cela, saling caci, dan tetap saling menghormati. Sebagaimana yang telah banyak dipraktekkan pada shahabat. Sebagai contoh: ketika dalam penyerangan Bani Quraidhah. Sewaktu hendak berangkat Nabi shalallaahu’alaihi wa sallam berpesan agar para shahabat tidak shalat kecuali setelah tiba di tujuan. Tapi ternyata sebelum sampai di perkampungan Bani Quraidhah waktu shalat Ashar sudah tiba. Maka sebagian shahabat mengerjakan shalat di tengah perjalanan, dengan alasan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh mengakhirkan shalat. Yang lain memegangi ucapan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, yakni tidak mengerjakan shalat hingga tiba di tujuan, walau sudah habis waktunya. Ketika yang demikian sampai kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam maka beliau tidak mencela satu pun dari keduanya.(7) 

Demikian pula ketika Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Ubay bin Ka’ab tentang sahkah shalat dengan memakai satu baju? Maka ketika mendengar perdebatan mereka Umaa keluar dengan marah dan berkata: “Dua orang dari Rasulullah saw telah berselisih, yaitu di antara orang-orang yang memperhatikan Rasul dan mengambil dari Rasul. Ubay benar dan Ibnu Mas’ud tidak lalai. Akan tetapi aku tidak mau mendengar ada orang yang berselisih tentang hal itu setelah ini, kecuali aku mengerjakannya begini dan begitu.”(8) 

4.Hal keempat yang mesti kita lakukan di tengah iftiraqul ummah ini adalah tetap berupaya untuk menjaga persatuan di antara kaum muslimin. Walaupun iftiraqul ummah adalah sebuah kepastian dan bagaimana pun usaha kita untuk mencegahnya maka iftiraqul ummah ini tetap akan terjadi, akan tetapi hal ini tidaklah menafikan kewajiban kita untuk tetap berpegang teguh kepada tali Allah dan menjaga persatuan di kalangan umat Islam. 
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan: “Dan berpegang teguhlah kalian kepada tali Allah seluruhnya, dan hangan berpecah belah.” (QS Ali Imran: 103) 

Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud dengan tali Allah adalah janji Allah. Dikatakan pula bahwa tali Allah ialah Al Qur’an. Sedangkan lafazh walaa tafarraquu (jangan berpecah belah) menunjukkan perintah untup berjama’ah dan melarang perpecahan.(9) 

Dan perintah bersatu di sini bukanlah persatuan telompok (firqah) tertentu yang kemudian saling membanggakan kelompoknya masing-masing. Dan menganggap yang di luar kelompoknya berarti bukan saudaranya dan lantas disikapi dengan sikap seperti orang kafir. Akan tetapi adalah kesatuan kaum muslimin yang berlandaskan aqidah dan manhaj ahlus sunnah wal jama’ah. Wallaahu a’lam bish shawab. 

Penjelasan tentang haditsul iftiraq 
Terkait masalah haditsul iftiraq, dimana umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan yang mereka semua berada di dalam neraka, kecuali satu yang selamat yakni Al Jama’ah. Maka jumhur ulama mengatakan, bahwa masuknya mereka ke dalam neraka ini tidaklah kekal, akan tetapi hanya sementara. Jadi, bid’ah-bid’ah yang ada pada diri mereka tidaklah menyebabkan mereka keluar dari Islam, bid’ah itu tidak sampai menjatuhkan mereka dalam kekufuran (bid’ah mukaffirah) akan tetapi hanya sampai pada tingkatan fusuq (bid’ah muharramah). Maka mereka tetaplah muslimin, sehingga tetap ada kewajiban untuk berwala’ terhadap mereka dan ada pula kewajiban bara’ terhadap meruka sesuai dengan tingkad penyimpangan yang ada pada mereka. 

Panitia Tetap Al Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta yang terdiri dari: Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Bbz, Syaikh Abdurrazaq Al Afify, Syaikh Abdullah bin Ghadyan, dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud memfatwakan mengenai harakah-harakah yang ada saat ini, “… secara umum, setiap jama’ah mempunyai kesalahan dan kebenaran. Anda boleh bergaul dengan jama’ah manapun selagi di sana ada kebenaran dan menghindari jama’ah yang banyak kesalahannya. Tetapi tetap harus saling memberi nasihat, saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.”(10) 

Maka para ulama menasihatkan kepada para ahlul ‘ilm untuk turut bersama mereka dan meluruskan mereka dari penyimpangan-penyimpangan yang ada. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz rahimahullaah, “…Jika manusia memiliki ilmu dan pemahaman keluar bersama mereka untuk menyampaikan ilmu dan pengingkaran dan nasihat kepada kebaikan serta mengajari mereka sampai mereka itu meninggalkan madzhab bathilnya dan meyakini madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah maka diperbolehkan.” 

Dan sungguh, hanya Allahlah yang Maha Mengetahui siapajah di antara harakah-harakah yang ada yang paling dekat kepada kebenaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 
“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al Kahfi: 503-104) 

Dan demi Allah, tidak ada jaminan bagi siapa pun bahwa dialah yang berada pada kebenaran. Kewajiban kita adalah berupaya semaksimal mungkin agar selalu berada dalam shiraathal mustaqiim. 

Sebuah manhaj (metodologi) dalam memahani dien 
Dalam meniti jalan ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi bimbingan: 
“… yaitu mereka yang mendengarkan perkataan yang baik, dan mengikuti yang terbaik diantaranya.” (QS Az Zumar:18) 

Maka mencari ilmu dari ahlul ilmi dari mana pun adalah sebuah kebaikan, karena hikmah itu adalah milik muslim yang hilang, maka ambillah ia dari mana pun engkau mendapatkannyu. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan: “… Terimalah kebenaran itu apamila engkau mendengarkannya, karena atas kebenaran itu ada cahaya.” (11) 

Tolok ukur kita dalam menilai kebenaran, yang pertama adalah ada tidaknya dalil tentangnya karena Rasulullah saw mengatakan: “Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan ibu tertolak.” (HR Mutafaqun ‘alaih) 

Kemudian yang kedua, sesuaikah dengan pemahaman para salafush-shalih yang Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengazakan tentang mereka: “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi orang-orang sesudahnya, dan kemudian orang-oyang yang sesudahnya.” (HR Arba’ah) 

Allah Tabaraka Wa Ta’ala pun mengatakan tentang pemahaman para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in dengan firman-Nya: “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan.” (QS Al Baqarah: 137) 

Seandainya apa yang kita pahami sesuai dengan pemahaman mereka maka itulah al-haqq, maka siapa pun yang berada di atas pemahaman ini maka merekalah yang disebut al-firqatun najiyah, merekalah fs-sawaadul a’zham, dan itulah al-jama’ah, sebagaimana dikatakan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Setiap yang mengikuti sunnahku dan para shahabatku.” ; “Kalian wajib berpegana teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaui rasyidin” (HR Abu Daud dan Tirmidzi). Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu: “Al Jama’ah itu ialah setiap yang sesuai dengan al-haqq walau engkau seorang diri.” Dalam riwayat yang lain dikatakan: “Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah walaupun engkau sendirian.” Ibnu Khallal rahimahullaah mengatakan: “Al Jama’ah ialah Jama’atul Muslimin, yaitu para shahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan sampai Hari Akhir. Mengikuti mereka adalah hidayah dan menyelisihi mereka adalah sesat.” 

Maka barangsiapa yang mengatakan bahwa yang demikian (yakni mengambil ‘ilmu dari beberapa harakah yang ada) maka dia seperti pemulung, sungguh, dia adalah orang yang ‘sangat mengenal’ diennya sehingga dia berani menyamakan dien-nya sebagai sampah dan betapa dia sangat memuliakan harakahnya, yakni dengan menyamakannya dengan keranjang sampah yang para pemulung dapat mengambil sampah daripadanya. Allahu Ta’ala A’lamu Bish-shawab. 

Semoga Allah senantiasa membimbing umat ini agar selalu bersatu di atas bendera sunnah, dan berdiri di atas landasan aqidah ash-shahihah, serta menyeru mqnusia dengan manhaj sunnah dan di atas jalan nubuwwah. Ushikum wa nafsi bitaqwallaah. Laa haula walaa quwwata illaa billaah. 

Foot note: 
1. Hadits ini masyhur, diriwayatkan oleh sejumlah banyak shahabat, dikeluarkan oleh imam-imam yang adil, yang hafal hadits seperti Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim, Ibnu Hibban, Abu Ya’la al Muushili, Ibnu Abi Ashim, Ibnu Bathah, al-Ajiri, ad-Darimi dan al-Lalikai. Juga dishahihkan oleh sejumlah besar ahli ilmu, seperti At-Tirmidzi, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, As-Suyuti, dan Asy-Syatibi. 
2. HR Nasa’I dan Tirmidzi: HASAN SHAHIH. Lihat Kitab Firqah Najiyah oleh Syaikh Jamil Zainu. 
3. Dikeluarkan oleh At Tirmidzi: (2260) dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah Al Kubra: (195) dari Anas radhiyallaahu ‘anhu.. 
4. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah: (XIV/344) dan dalam tafsir: (III/110) dengan lafazh yang panjang. 
5. Dikeluarkan oleh Muslim dengan lafazh ini: (1920) dan Abu Dawud: (4252) dengan tambahan: “Tidak akan memadharatkan mereka orang-orang yang menyelisihinya.”, dan tambahan yang panjang di awalnya. Dikeluarkan pula oleh At Tirmidzi: (2229) secara ringkas dan dia fenshahihkannya, dan dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Al Muqaddimah: (10) dengan lafazx yang panjang dan dikeluarkan oleh Imam Ahmad: (V/276) dengan lafazh yang panjang dan dalam (V/247) secara ringkas, dll. 
6. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, 3606, Muslim dalam Shahih-nya (1847), Imam Ahmad dengan panjang (V/386), 403 dan secara ringkas (V/391,396), dengan ringkas dengan lafazh-lafazh yang berbeda-beda (V/494), Abu Dawud As-Sijistani (3244), dengan lafazh berbeda (4246) dan An-Nasa’I dalam Al Kubra (V/17,18). 
7. Lihat: Al Jami’ush Shahih Bukhari-Muslim. 
8. Ibnu ‘Abdi ‘l-Bar di dalam Jami’u Bayani ‘l ‘Ilmi, 2/83-84 
9. Lihat: Tafsir Ibnu Katsir Juz 1. 
10. Lihat: Al jama’ah Menurut Ulama Salaf dan Khalaf oleh DR Abdur-Rahman bin Khalifah Asy-Syayaji. Terdapat dalam kaset Ta’qieb Samahatul ‘Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz ‘ala Nadwah (ad-Du’at), lihat kitab An-Nashrul ‘Aaiz hal 173 oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullaah. 
11. Syaikh Al-‘Allamah Ay-Mujaddid Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan tentang hadits ini: “Shahih, sanadnya mauquf (yakni ucapan Mu’adz).” Terdapat dalam Shahih Abi Dawud, jilid 3, hal 872, hadits ke 3855. 

Al faqiru ilallaah, 
Abu Syifa ( Zaenal A. Syukur ) 
d.a. 
Zaenal A. S. 
1. Fakultas Teknik Jurusan Teknfk Sipil (Angkatan ’98) UNS Jl Ir Sutami No 36 A Kentingan Surakarta 97126 
2. Ma’had Abu Bakar Ash-Shiddiq ‘Aliy Universitas Muhammadiyah Surakarta 
3. Kleco Rt 02/I Kadipiro Surakarta 57136 
4. E-mail: zaenal_as@eramuslim.com 

“Ikhwah fillaah, segala koreksi atas kesalahan penulisan dan penyimpangan pemahaman yang ada mohon disampaikan kepada penulis. Jazaakumullaahu khairan katsiiran.”

Dampak Maksiat

Perbuatan maksiat menimbulkan bermacam-macam dampak, seperti musibah materi dan yang lebih bahaya lagi adalah musibah yang menimpa iman. Artikel singkat ini mengulas dampak-dampak yang diakibatkan perbuatan maksiat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam urusan. (Ar-Rahman: 29) 

Ayat diatas menjelaskan tentang kesempurnaan kekuasaan dan hikmah-Nya, dan bahwa segala urusan adalah milik-Nya, Ia Maha mengatur hamba-hamba-Nya sesuai kehendaknya, baik dalam masalah keamanan, ketakutan, kegembiraan, kesedihan, kemudahan, kesulitan, kelebihan ataupun kekurangan. 

Allah selalu mengatur setiap urusan makhluk-Nya, hukum-Nya berlaku untuk mereka sesuai dengan hikmah-Nya dan keutamaan-Nya, dan berlaku untuk mereka sesuai dengan hikmah-Nya dan keadilan-Nya. Allah tidak berbuat dzalim kepada seorangpun. Kami tidak berbuat dzalim kepada mereka, tetapi merekalah orang-orang yang berbuat dzalim terhadap diri mereka sendiri. (Az-Zukhruf: 76) 

Wahai kaum muslimin .. 
Sesungguhnya kita beriman kepada Allah dan kepada taqdir-Nya. Iman kepada takdir Allah, taqdir baik dan buruk merupakan salah satu dari rukun-rukun iman. 

Sesungguhnya kita meyakini, segala kebaikan dan kesenangan yang kita peroleh adalah rahmat dari Allah semata. Oleh karena itu, kita wajib bersyukur kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, melaksanakan segala perintah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Apabila kita taat dan mensyukuri segala nikmat Allah, maka kita berhak untuk mendapatkan segala kebaikan sesuai dengan janji-Nya, dan Allah akan memberikan tambahan karunia-Nya kepada kita. Allah berfirman: Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah lah (datangnya), dan bila kalian ditimpa kemudharatan, maka hanya kepada-Nya lah kalian minta pertolongan. (An-Nahl:53) 

Dan ingatlah tatkala Rabb kalian memberitahukan: ‘Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat)Ku, maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.’ (Ibrahim: 7) 

Wahai kaum muslimin .. 
Sesungguhnya berbagai musibah baik yang menimpa pribadi maupun masyarakat berupa kesempitan, kekurangan, krisis moneter atau kekacauan, itu semua disebabkan maksiat mereka kepada Allah, kelalaian dan kelengahan mereka terhadap perintah dan syariat-Nya, sehingga mereka menggunakan hukum selain hukum Allah. Padahal Allahlah yang menciptakan mereka, Allah lebih sayang kepada mereka daripada sayangnya orang tua kepada anaknya, dan Allah lebih tahu tentang maslahat mereka daripada mereka sendiri. Allah menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya, agar kita tidak melanggar ketentuan-ketentuan-Nya. Allah ta’ala berfirman: Dan apa saja musibah yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Asy-Syura: 30) 

Apa-apa yang kamu peroleh berupa kebaikan, maka itu dari Allah, dan apa-apa yang menimpamu berupa keburukan maka itu disebabkan oleh dirimu sendiri. (An-Nisaa:79) 

Wahai kaum muslimin .. 
Sesungguhnya kebanyakan manusia menyandarkan segala musibah, baik krisis moneter, kekacauan keamanan dan kekacauan politik kepada sebab-sebab materi semata. Tidak diragukan lagi bahwa ini menunjukkan kedangkalan pemahaman mereka, kelemahan iman, dan kelalaian mereka dari mengkali Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya saw. 

Sesungguhnya dibalik sebab-sebab materi ada sebab-sebab syar’I yang lebih kuat dan lebih besar pengaruhnya. Sebab-sebab materi hanya merupakan akibat dari konsekuensi logis dari sebab-sebab syar’I. Allah berfirman: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Ar-Ruum: 41) 

Wahai kaum muslimin .. 
Mengapa kalian tidak menyandarkan musibah-musibah yang menimpamu kepada kelalaian kalian terhadap ajaran Islam, supaya kalian kembali ke jalan Allah. Inilah yang dapat menyelamatkan kalian dari kehancuran. 

Takutlah kalian kepada Allah, hendaklah kalian instrokpesi diri, bertaubatlah kepada-Nya dan perbaikilah jalan hidupmu. Ketahuilah bahwa musibah-musibah yang menimpa kalian merupakan balasan dari Allah disebabkan dosa-dosa kalian, maka bertaubatlah kepada Allah untuk setiap musibah, mintalah perlindungan kepada-Nya dari kehancuran materi dan iman. 

Adapun kehancuran materi, ia bisa berupa penganiayaan, pembunuhan, dan kebinasaan harta benda. Sedang kehancuran keimanan ia tempatnya di hati berupa kekacauan pemahaman (syubhat) dan ketundukan kepada hawa nafsu (syahwat). Syubhat dan syahwat inilah yang memalingkan umat dari ajaran Islam. Keduanya pula yang menjauhkan mereka dari jejak orang-orang salaf (Rasulullah saw, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka), syubhat dan syahwat inilah yang menjerumuskan mereka kepada kehancuran. 

Dan sesungguhnya kerusakan hati lebih besar, lebih dahsyat, dan lebih buruk akibatnya dari kerusakan dunia. Karena bila kerusakan dunia itu menimpa manusia, kerugiannya hanyalah kerugian dunia dan tidak kekal, sedangkan kerusakan agama kerugiannya di dunia dan di akhirat. 

Katakanlah: ‘Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat.’ Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (Az-Zumar: 15) 

Ya Allah .. 
Kami memohon kepada-Mu agar menjadikan kami orang-orang yang mengambil pelajaran dari ayat-ayat-Mu yang penuh dengan peringatan di saat datangnya hukuman-Mu. 

Ya Allah .. 
Jadikanlah kami, manusia yang benar-benar beriman, yang menyandarkan segala musibah kepada sebab-sebab syar’I yang telah Engkau jelaskan dalam Kitab Suci-Mu dan melalui lisan mulia Rasul-Mu, Muhammad saw. 

Ya Allah .. 
Berilah kekuatan kapada umat Islam dan pemerintahnya untuk kembali menuju jalan-Mu, untuk melakukan taubat nashuha secara lahir batin, dalam ucapan maupun perbuatan, sehingga umat menjadi baik disebabkan baiknya pemerintah yang meniti jalan-Mu. 

Ya Allah .. 
Kami memohon kepada-Mu untuk memperbaiki para penguasa kaum muslimin, jadikanlah mereka mengambil pelajaran dari apa yang telah terjadi, berilah mereka petunjuk sehingga berjalan di atas kecintaan dan keridhaan-Mu, wahai Penguasan seluruh alam. 

Ya Allah .. 
Kami memohon kepada-Mu agar Engkau jauhkan dari para penguasa kaum muslimin pejabat-pejabat dan teman-teman dekat yang buruk. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. 

Ya Allah .. 
Berilah karunia kepada para penguasa kaum muslimin untuk memilih pejabat-pejabat dan teman-teman dekat yang baik, yang menunjukkan, menganjurkan dan memerintahkan mereka kepada kebaikan. 

Ya Allah .. 
Jauhkanlah dari penguasa kaum muslimin teman-teman dekat yang tidak memperbaiki mereka dan tidak memperbaiki rakyat, gantilah dengan yang lebih baik dari mereka. 

Segala puji bagi Allah, Penguasa seluruh alam, semoga shalawat dan salam tetap dicurahkan atas Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya. 

Disarikan dari buku: 
Atsarul Ma’ashi ‘alal Fard wal Mujtama’ 
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Bid`ah Hasanah....? Itulah Bid`ah

Sebagian muslimin ketika dinasihati untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan bid'ah mereka, tidak jarang diantara mereka berdalih bahwa yang mereka lakukan adalah bid'ah hasanah, sehingga mereka berkeras bahwa yang mereka lakukan adalah kebaikan. Artikel ini menjelaskan bahwa semua bid'ah adalah sesat dan dijelaskan syubhat-syubhat yang biasanya digunakan sebagai alasan pembenaran bid'ah mereka.

Telah disebutkan oleh Rasulullah bahwa: 
“Berhati-hatilah dari hal yang baru, karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap kebid’ahan itu sesat.(HR. Tirmidji dan Ibnu Majah). 
“Barangsiapa yang membuat-buat dalam perkaraku(agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak.”(HR. Bukhari Muslim). 
“Barangsiapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahku padanya, maka dia tertolak.”(HR. Muslim). 

Bid’ah adalah setiap hal yang tidak mempunyai dasar dalam agama yang dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah , seperti: 
1. Upacara maulid Nabi, isra mi’raj, malam nisfu sya’ban dan sebagainya. 
2. Berdzikir dengan tarian, tepuk tangan dan pukulan terbang begitu juga meninggikan suara dan mengganti nama-nama Allah seperti dengan ah, ih, aah, hua, hia. 
3. Mengadakan acara selamatan dan mengundang para kyai untuk membaca Al-Quran setelah wafatnya seseorang dan lain sebagainya. 
Hal ini merupakan kebid’ahan dalam hal agama yang ditolak oleh Islam dan hukumnya sesat. Adapun bid’ah duniawi ada dua macam yaitu bid’ah negatif seperti bioskop, TV, video dan sejenisnya yang dapat merusak akhlak dan membahayakan masyarakat karena film-film yang ditampilkan tidak sesuai dengan syari’at Islam sehingga berbahaya terhadap akidah dan akhlak kita. Sedangkan yang positif diantaranya adalah kapal terbang, mobil, telepon dan yang lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat dan mempermudah urusannya. 

Rasulullah sebagai pembawa risalah kebenaran dan sebaik-baik teladan umat telah melaksanakan tugasnya dengan amat sempurna. Tiada satupun dari perkara agama yang luput beliau sampaikan, hingga Allah berfirman ketika haji wada’ yang menjelaskan bahwa tugas kerasulan beliau telah selesai, yaitu: “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu, kucukupkan nikmatku atasmu serta kuridhoi Islam sebagai agamamu.(QS. Al-Maidah: 3). 

Imam Malik rahimahullah berkata,” Siapapun yang membuat bid’ah dalam Islam dan menganggapnya hasanah(baik), maka sungguh ia telah menyangka bahwa Nabi Muhammad telah mengkhianati misi kerasulan, berdasarkan firman Allah ta’ala diatas, maka yang tidak dijadikan-Nya agama pada saat itu begitupun pada saat ini.”(Al-I’tishom I/64). 

Asy-Syaukani berkata,” Maka jika Allah telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mewafatkan Nabi-Nya, disebut apalagi pendapat orang setelah Allah menyempurnaknnya?!? Jika mereka berkeyakinan itu termasuk dalam perkara agama, berarti belumlah sempurna kecuali denagn disertakannya pendapat mereka dan itu adalah penolakan terhadap Al-Quran. Adapun jika mereka tidak berkeyakinan bahwa itu bukan termasuk agama, lalu untuk apa menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan agama???” 
Ini merupakan pukulan telak serta dalil yang agung tak mungkin terelakkan, dari itu jadikanlah ayat yang mulia ini sebagai senjata pertama untuk melumpuhkan para ahli bid’ah. 

Asy-Syaukani kembali berkata,” Hadist-hadist di awal pembahasan ini termasuk kaidah-kaidah dasar agama yang mencakup berbagai hukum secara tak terbatas, betapa sangat tepat dan lantangnya dalil, ini dalam mematahkan pendapat di antara ahli fiqih yang membagi bid’ah ke dalam berbagai kategori dan menjadikan indikasi ketertolakan bid’ah pada sebagiannya tanpa menyertakan dalil yang mengkhususkan baik ‘aqli maupun naqli.”(Nailul author 2/69). 

Sabda Rasulullah yang berbunyi,” Setiap kebid’ahan adalah sesat” telah dijelaskan oleh para ulama dengan sangat gamblang, diantaranya yaitu: 
1. Ibnu Rajab berkata,” Kalimat ini simple dan sederhana namun memiliki cakupan makna yang luas tanpa kecuali serta merupakan kaidah dasar yang agung di antara sekian kaidah-kaidah agama.”(Jami’ul ‘Ulum 28). 
2. Ibnu Hajar berkata,” Sabda beliau tersebut adalah kaidah agama yang global baik secara tersurat (manthuq) maupun secar tersirat (mafhum)nya. Secara aplikatif dapat dikatakan sebagai berikut,” Hukum hal ini adalh bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah kesesatan. Maka tidak termasuk dalam syari’ah karena semua syari’ah adalah petunjuk, sehingga jika kedua premis tersebut benar maka benarlah hasilnya.”(Fathul Baary 13/254). 
3. Syaikh Al-Utsaimin berkata,” Sabda beliau di atas berindikasi global, umum serta menyeluruh, diperkuat pula dengan indikator keumuman kata yang terkuat yaitu ”Kullu(setiap)”. Beliau melanjutkan,” Dengan demikian yang disebut sebagai bid’ah hasanah terbantah dengan hujjah ini, tidak ada lagi jalan yang dapat dilalui oleh orang-orang yang berkeinginan untuk menjadikan bid’ah-bid’ahnya sebagai bid’ah hasana. 

Inilah pedang kita untuk membantah mereka, karena hujjah ini dibuat dalam ruang produksi kenabian dan kerasulan, bukan dalam pabrik kerancuan dan kekacauan. Ia didesign oleh Baginda Rasulullah dengan amat sempurna dan layak guna di setiap zaman. Mungkinkah orang yang bersenjatakan pedang semacam ini mampu dilawan dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan bid’ah lalu mengklaimnya sebagai bid’ah hasanah??? Sementara di sisi lain kita mendapati bahwa amat sangat jelas Rasulullah bersabda,”Setiap bid’ah adalah sesat.” 

Telah kita ketahui bersama bahwa Rasulullah dengan tegas menyatakan bahwa,” Semua bid’ah adalah sesat.” Akan tetapi diantara para pelaku bid’ah dengan berbagai cara telah melontarkan subhat-subhat untuk mendukung kebid’ahan mereka. Diantara beberapa subhat tersebut bisa anda baca pada uraian berikut. Semoga kita bisa mengambil manfaatnya. Wallahu waliyut taufiq. 

1. Pemahaman mereka terhadap hadits,” Barang siapa yang memberi contoh yang baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukannya setelah itu tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa memberi contoh yang buruk dalam Islam maka dia akan mendapatkan beban dosanya serta dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi beban mereka sedikitpun.”(HR. Muslim no: 1017). 
Bantahan: 
· Bahwa ma’na barang siapa dalam hadits tersebut adalah barang siapa yang memberi contoh aplikatif bukan inovatif. Maka yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah mengamalkan sesuatu yang telah ada dalam sunnah nabawiyah(bukan yang diada-adakan). 
· Yang menyatakan ,”Barang siapa yang memberi contoh yang baik dalam Islam” adalah yang menyatakan,” Setiap bid’ah adalah sesat.”Dan mustahil beliau mengatakan sesuatau yang mendustakan pernyataannya sendiri sehingga informasi Islam ini berbenturan.(Al-Ibda’ Ibnu Utsaimin hal:19). 
· Belum pernah ada keterangan dari seorangpun diantara salafus sholeh bahwa beliau menafsirkan “sunnah hasanah” dengan bid’ah yang mereka ada-adakan dalam masalah agama semau mereka. 

2. Pemahaman mereka terhadap ucapan Umar Bin Al-Khattab yang mengatakan,” Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”(HR. Bukhari no 2010). 
Bantahan: 
· Seandainya kita terima apa yang mereka dakwahkan bahwa ini merupakan indikasi adanya bid’ah hasanah(meskipun bukan begitu adanya), maka sudah jelas bahwa perkataan Rasulullah tidak mungkin dibatalkan oleh perkataan siapapun diantara manusia, Abu Bakar sekalipun yang merupakan orang termulia diantara umat ini setelah Rasulullah , atau Umar sebagai yang kedua dan lain-lainnya. Imam Ahmad Bin Hambali berkata,” Barang siapa yang menolak hadits Nabi, maka sesungguhnya dia berada di tepi jurang kehancuran.”(Thabaqal Al-Hanabilah 2/15 dan Al-Ibanah 1/260). 
· Bahwa beliau mengatakan hal itu pada saat menyatukan orang dalam sholat tarawih, sementara sholat tarawih bukanlah bid’ah melainkan sejatinya sunnah berdasarkan hadits yang disampaikan oleh Aisyah Bahwa Rasulullah pada suatu malam sholat di dalam masjid, maka dimakmumi oleh orang-orang begitupula pada malam berikutnya bahkan bertambah banyak. Lalu tatkala mereka telah berkumpul pada malam ketiga atau keempat beliau tidak keluar, seusai sholat shubuh beliau berkata: ”Aku tahu apa yang kalian lakukan dan tidak ada alasan yang menghalangiku melainkan kekhawatiranku akan diwajibkannya(sholat malam ini) atas kalian.”Dan ini terjadi di bulan Ramadhan.(HR. Bukhary no 1129). Dari sini jelas sebab ditinggalkannya berjama’ah dalam syari’ah sholat tarawih. Maka tatkala sebab tersebut telah tiada Umarpun menghidupkannya kembali. Jadi apa yang dilakukannya memiliki dasar dari perbuatan Rasulullah . 
· Jika yang telah beliau lakukan itu bukan bid’ah, lalu apakah ma’na bid’ah yang beliau maksudkan? Maksud beliau tentang bid’ah tersebut adalah secara bahasa bukan dalam konteks syar’iy. Bid’ah secara bahasa berarti sesuatu yang dilakukan tanpa didahului contoh sebelumnya, maka tatkala itu tidak dilakukan di zaman Abu Bakar dan tidak pula di awal zaman Umar, jadilah dia bid’ah dalam pengertian bahasa karena tidak dicontohkan sebelumnya. Adapun dalam konteks syar’iy maka tidak termasuk bid’ah karena ada contoh dari Rasulullah. 

3. Pemahaman mereka terhadap atsar,” Apapun yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itu baik menurut Allah .”(Musnad Ahmad 1/39). 
Bantahan: 
· Periwayatan atsar tersebut hanya sampai pada Abdullah Ibnu Mas’ud dan tidak sampai pada Rasulullah . Ibnul Qoyyim berkata,” Atsar ini bukan perkataan Rasulullah dan tak seorangpun menisbatkannya kepada beliau kecuali ia tidak mengerti tentang hadits. Ini hanyalah dari Ibnu Mas’ud.”(Al-Furuusiyyah, Ibnul Qoyyim hal:167). Komentar Az-Zaila’iy:” Gharib secara marfu’ dan tidak aku dapatkan kecuali terhenti pada Ibnu Mas’ud.”(Nashburrayah 4/133). 
· Fungsi alif lam dalam kata “almuslimun”(pada atsar di atas) adalah untuk menyatakan sesuatu yang telah diketahui yaitu para shahabah sebagaimana yang ditunjukkan oleh alur kalimat dalam atsar tersebut dimana dikatakan di situ,” Sesungguhnya Allah melihat hati-hati para hambaNya, maka Allah dapatkan hati Muhammad sebaik-baiknya lalu Allah pilih beliau untuk diri-Nya dan mengutusnya untuk mengemban misi-Nya, di mana hati para shahabah adalah yang terbaik lalu Allah jadikan mereka para pendukungnya. Mereka berperang demi membela agamanya, maka apapun yang dianggap baik para muslimun tersebut baik pulalah dalam pandangan Allah. Sebaliknya apapun yang dianggap buruk oleh mereka, maka buruk pulalah dalam pandangan Allah .” 
· Bagaimana mungkin berdalih untuk menganggap baiknya sebuah bid’ah dengan perkataan seorang shahabah yang merupakan orang yang paling keras dalam melarang daqn mengecam bid’ah. Bukankah telah kita baca bersama beliau mengatakan:”Ikutilah dan jangan membuat bid’ah, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” Dan banyak lagi ucapan-ucapan beliau yang lain dalam hal ini. 

4. Perkataan Imam Syafi’iy (semoga Allah merahmatinya),” Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela.”(Hilyatul aulia 9/113). “ Yang diada-adakan dalam agama itu ada dua macam, yang diada-adakan menyelisihi Al-Quran atau sunnah, atsar atau ijma’ maka itulah bid’ah kesesatan. Sementara yang diadakan dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan itu semua, maka itu adalah muhdash yang tidak tercela.”(Manaaqib Asy-Syafi’iy, Albaihaqy 1/469 dan Al-Baaits Abii Syaamah hal 94). 
Bantahan: 
· Perkataan Rasulullah merupakan hujjah atas siapapun, tidak boleh dikalahkan dengan perkataan siapapun. Tidak berlaku sebaliknya. 
· Bila kita cermati perkataan beliau, tidak ragu lagi bahwa yang beliau maksudkan dengan bid’ah terpuji adalah bid’ah secara bahasa, sebab semua bid’ah dalam syari’ah yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, sedangkan beliau mendefinisikan bid’ah terpuji dengan batasan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan al-Kitab dan As-Sunnah dan setiap bid’ah dalam syaria’h pasti menyelisihi firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3. 
· Beliau(Imam Syafi’iy) terkenal dengan antusiasmenya yang tinggi dalam mengikuti jejak Rasulullah serta sangat murka terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah . Beliau berkata,” Jika telah kau dapatkan dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah , maka ambillah sunnah itu dan tinggalkan fatwaku.”(Siyar 10/43). 

5. Pernyataan Al ‘Izz Ibnu Abdissalam:” Bahwa bid’ah terbagi kedalam kategori wajib, haram, sunnah dan mubah. Dan cara mengetahuinya adalah dengan menimbang bid’ah tersebut di atas kaidah-kaidah syar’iyyah. Jika masuk dalam kaidah yang menghasilkan hukum wajib, maka keberadaan bid’ah tersebut menjadi wajib begitupula jika haram.”(Qowa’idul Ahkam 2/173). 
Bantahan: 
· Tidak boleh membantah hadits Rasulullah dengan perkataan siapapun. 
· Asy-Syathibi berkata:” Pembagian ini adalah rekayasa tak berdalilkan syar’iy dan kontradiktif dengan sendirinya. Karena hakekat bid’ah adalah kehampaannya dari dalil syar’iy baik secara nash maupun kaidah-kaidah yang terintisarikan daripadanya karena seandainya ada dalil syar’iy atas pembagian itu niscaya tidak ada istilah bid’ah dan berarti pula merupakan usaha korelasi antara dua hal yang selalu kontradiktif (Jam’un baina mutanafiyaini).”(Al-I’tishom 1/246). 
· Bahwa bid’ah yang dimaksud beliau adalah bid’ah secara bahasa, bukan syar’iy berdasarkan contoh-contoh yang beliau berikan dalam hal itu. 
· Al’Izz adalah sosok ulama yang terkenal dengan sikap penyerangan serta pelarangannya yang keras terhadap bid’ah. Bahkan beliau sendiri yang melarang orang melakukan hal-hal yang mereka namakan dengan bid’ah hasanah.. 

Dari uraian di atas dapat kita ambil suatu hikmah yang besar yaitu bahwasanya perkataan Rasulullah tidak terbantahkan dengan hujjah-hujjah dari para pembela bid’ah bahkan oleh perkataan shabat beliau sendiri karena semua apa yang beliau katakan tidak berdasarkan nafsu melainkan karena bimbingan Allah azza wajalla yaitu wahyu. Sehingga bagaimana mungkin sesuatu yang sesuai dengan sunnah dikatakan sebagai bid’ah???Pencampuradukan antara ma’na bahasa dengan ma’na terminologi syar’iy telah membuat ahli bid’ah tersesat dari rahmat Allah padahal rahmat-Nya amatlah luas kepada orang-orang yang dapat membedakan antara keduanya karena taufiq dari Allah . Semoga kita termasuk di dalam golongan ini. Allah musta’an. 


“Dirangkum dari makalah Ust Syaikh Mudrik Ilyas dalam acara Daurah Dirosah Islamiyah pada tanggal 15, 16, 17 Maret 2002 di Masjid Abu Bakar shiddiq oleh Lajnah dakwah Yayasan Qolbun Salim Malang.”

Berpegang dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, mengikuti atsar salaf dan menjauhi bid`ah

Berpegang dengan jalan Generasi awal adalah keselamatan, para Sahabat adalah murid-murid Rasulullah saw yang secara langsung belajar kepada Rasulullah saw dan hidup bersama beliau. Mengikuti para Sahabat adalah barometer (ukuran) sejauh mana dia diatas Sirathal Mustaqim. Sungguh tepat apa yang dikatakan: Segala kebaikan adalah dengan mengikuti Salaf (generasi awal), dan segala keburukan ada pada mengikuti apa yang diada-adakan (bid'ah) oleh generasi sesudahnya.

1. Allah Ta'ala berfirman : Hai orang - orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. Dan berpeganglah kamu semua dengan tali Allah dan jangan berpecah belah. Dan ingatlah nikmat Allah terhadapmu ketika kamu saling bermusuhan maka Dia satukan hati kamu lalu kamu menjadi saudara dengan nikmat-Nya, dan ingatlah ketika kamu berada di bibir jurang neraka lalu Dia selamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kamu ayat-ayat-Nya agar kamu mendapat petunjuk. (Ali 'Imran 102 - 103) 

2. Allah Ta'ala berfirman : Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia, dan jangan kamu ikuti jalan-jalan (lainnya) sebab jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Allah berwasiat kepada kamu mudah - mudahan kamu bertaqwa. (Al - An'am 153)[1] 

3. Rasulullah sahallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang terbimbing, gigitlah dengan gerahammu, dan hati - hatilah kamu terhadap perkara yang baru karena sesungguhnya setiap bid'ah itu adalah sesat. (HSR. Ahmad 4/126; At-Tirmidzy 2676; Al-Hakim 1/96, Al-Baghawy 1/205 no. 102) 

4. Rasulullah sahallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya Allah meridlai tiga perkara untuk kamu -diantaranya Beliau bersabda- : dan hendaknya kamu semua berpegang dengan tali Allah . (HSR. Dikeluarkan oleh Al-Baghawy 1/202 no. 101)[2] 

5. Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallahu 'anhu berkata : Hai para Qari (pembaca Al-Quran) bertaqwalah kepada Allah, dan telusurilah jalan orang-orang sebelum kamu, sebab demi Allah, seandainya kamu melampaui mereka [para Sahabat], sungguh kamu melampaui sangat jauh, dan jika kamu menyimpang ke kanan dan ke kiri maka sungguh kamu telah tersesat sejauh-jauhnya. (Al-Lalikai 1/90 no.119; Ibnu Wudldlah dan Al-Bida' wan Nahyu 'anha 17; As-Sunnah Ibnu Nashr 30). 

6. Ibnu Mas'ud radliyallahu'anhu berkata : Ikutilah dan jangan berbuat bid'ah ! Sebab sungguh itu telah cukup bagi kalian. Dan (ketahuilah) bahwa setiap bid'ah adalah sesat. (Ibnu Nashr 28 dan Ibnu Wudldlah 17). 

7. Imam Az-Zuhry berkata : Ulama kita yang terdahulu selalu mengatakan : Berpegang dengan As-Sunnah itu adalah keselamatan. Dan ilmu itu tercabut dengan segera, maka tegaknya ilmu adalah kekokohan Islam sedangkan dengan perginya para ulama akan hilang pula semua itu (ilmu dan agama). (Al-Lalikai 1/94 no. 136 dan Ad-Darimy 1/58 no. 16). 

8. Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu berkata : Berpeganglah kamu dengan ilmu (As-Sunnah) sebelum diangkat, dan berhati-hatilah kamu dari mengada-adakan yang baru (bid'ah), dan melampaui batas dalam berbicara dan membahas suatu perkara, hendaknya kalian tetap berpegang dengan contoh yang telah lalu. (Ad-Darimy 1/66 no. 143; Al-Ibanah Ibnu Baththah 1/324 no. 169; Al-Lalikai 1/87 no.108 dan Ibnu Wadldlah 32). 

9. Dan ia juga mengatakan bahwa : Sederhana dalam As-Sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh di dalam bid'ah. (Ibnu Nashr 30; Al-Lalikai 1/88 no. 114 dan Al-Ibanah 1/320 no. 161). [3] 

10. Sa'id bin Jubair (murid dari sahabat Ibnu 'Abbas) berkata -mengenai ayat- : Dan beramal shalih kemudian mengikuti petunjuk(Thaha 82), yaitu senantiasa berada diatas As-Sunnah dan mengikuti Al-Jama'ah. (Al-Ibanah 1/323 no.165; Al-Lalikai 1/71 no.72) 

11.Imam Al-Auza'i berkata : Kami sennatiasa mengikuti sunnah kemanapun ia beredar. (Al-Lalikai 1/64 no. 72). 

12.Imam Ahmad bin Hambal berkata : Berhati-hatilah kamu jangan sampai menulis masalah agama dari ahli ahwa' sedikit ataupun banyak. Dan berpeganglah dengan ahli atsar dan sunnah. (As-Siyar 11/231). 

13. 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dalam risalahnya untuk salah seorang aparatnya mengatakan : Dari 'Umar bin 'Abdul 'Aziz Amirul Mu'minim kepada 'Ady bin Artha-ah : Segala puji hanya bagi Allah yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia. Amma ba'du, Saya wasiatkan kepadamu, bertaqwalah kepada Allah, dan ikutilah sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tinggalkan apa yang diada-adakan ahli bid'ah terhadap sunnah yang telah berlalu dan tidak mendukungnya, tetaplah kamu berpegang dengan sunnah, karena sesungguhnya ia telah diajarkan oleh orang yang tahu bahwa perkara yang menyelisihinya adalah kesalahan atau kekeliruan, kebodohan dan keterlaluan (ghuluw). Maka ridlailah untuk dirimu apa yang diridlai oleh kaum itu (sahabat) untuk diri mereka, karena mereka sesungguhnya berhenti dengan ilmu, dan menahan diri dengan bashirah yang tajam [4], dan mereka dalam menyingkap hakikat segala perkara lebih kuat (mampu) apabila di dalamnya ada balasan yang baik. Jika kamu mengucapkan bahwa ada suatu perkara yang terjadi sesudah mereka, maka ketahuilah, tidak ada yang mengada-adakan sesuatu setelah mereka melainkan orang-orang yang mengikuti sunnah yang bukan sunnah mereka (sahabat), dan menganggap dirinya tidak membutuhkan mereka. Padahal para sahabat itu adalah pendahulu bagi mereka. Mereka telah berbicara mengenai agama ini dengan apa yang mencukupi, dan mereka telah jelaskan segala sesuatunya dengan penjelasan yang menyembuhkan, maka siapa yang lebih rendah dari itu berarti kurang, dan sebaliknya, siapa yang melampaui mereka berarti memberatkan. Maka sebagian manusia ada yang telah mengurangi hingga mereka kaku, sedangkan para sahabat itu berada diantara keduanya yaitu di atas jalan petunjuk yang lurus. (As-Syariah 212). 

14. Ibnu Baththah berkata : Sungguh demi Allah, alangkah mengagumkan kecerdasan kaum itu, betapa jernihnya pikiran mereka dan alangkah tingginya semangat mereka dalam mengikuti sunnah nabi mereka, dan kecintaan mereka telah mencapai puncaknya hingga meraka sanggup untuk mengikutinya dengan cara seperti itu. Oleh sebab itu ikutilah tuntunan orang-orang berakal seperti mereka ini -wahai saudara-saudaraku-, dan telusurilah jejak-jejak mereka niscaya kalian akan berhasil, menang dan jaya. (Al-Ibanah 1/245). 

15. Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma berkata : Tetaplah kamu beristiqamah dan berpegang dengan atsar serta jauhilah bid'ah. (Al-I'tisham 1/112). 

16. Al-Auza'i berkata : Berpeganglah dengan atsar salafus shalih meskipun seluruh manusia menolakmu, dan jauhilah pendapatnya orang-orang (selain para ahlus sunnah) meskipun mereka (ahli bid'ah) menghiasi perkataannya terhadapmu. (As-Syari'ah 63) 

(Diambil dari Lammudzur Mantsur Min Qoulin Mantsur karya Abu Abdullah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, edisi Bahasa Indonesia Kilauan Mutiara Hikmah dari Nasehat Salaful Ummah cetakan Pustaka As-Salaf) 


Catatan kaki: [Oleh Ust. Muhammad Umar Sewed] 
----------------------------------------------- 
[1] Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus 
Ibnul Qayyim mengatakan : jalan yang lurus artinya meng-Esa-kan Allah dalam ibadah dan 
menjadikan Rasulullah sahllallahu 'alaihi wa sallam sebagai satu-satunya ikutan (ittiba'). 

Dan jangan kamu ikuti jalan-jalan (lainnya). 
Jalan-jalan lain (subul) artinya berbagai bid'ah dan syubhat sebagaimana ucapan Mujahid 
dan lain-lain dalam tafsir-tafsir. 

[2] Dan hendaknya kamu semua berpegang dengan tali Allah. 
Tali Allah adalah Al-Quran (yang difahami dengan pemahaman yang benar) 

[3] Dan ia juga mengatakan bahwa : Sederhana dalam As-Sunnah). 
Syaikh Ali Hasan mengatakan bahwa kata-kata mutiara ini juga diriwayatkan oleh banyak 
sahabat diantaranya Abu Darda' dan Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu. 

Sederhana dalam sunnah maksudnya tetap dalam As-Sunnah meskipun hanya mengamalkan 
perkara yang wajib. Ini termasuk orang-orang pilihan seperti yang dikatakan dalam firman Allah 
surat Al-Fathir 32. Juga seperti halnya diungkapkan oleh Abul Ahwas : Wahai Sallam, tidurlah 
dengan cara sunnah dan itu lebih baik bagimu daripada bangun malam dengan cara bid'ah. 

[4] Dan menahan diri dengan bashirah yang tajam. 
Ini adalah bantahan terhadap orang - orang yang menyatakan bahwa para sahabat tidak membahas 
kaifiyat sifat-sifat Allah Ta'ala dan ini juga bukti bahwa mereka radliyallahu 'anhum tidak 
berdalam-dalam membahas sesuatu dan tidak pula menambah-nambahi apa yang telah 
disempurnakan syariat.